Bisnis.com, JAKARTA - Garuda Indonesia, maskapai layanan penuh, belum bisa memprediksi kinerja maskapai pada semester II/2020 seiring dengan realisasi kenaikan jumlah penumpang yang cenderung lambat.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengaku masih mencermati dinamika jumlah penumpang pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi untuk bisa menentukan langkah pada semester II/2020. Sejauh ini jumlah penumpang pesawat tak serta merta mengalami kenaikan yang signifikan.
Oleh karena itu, pihaknya juga belum dapat memprediksikan pola keberangkatan natal dan tahun baru (nataru) yang biasanya menjadi periode sibuk akhir tahun.
"Semua wait and see, kami masih lihat dinamika [jumlah penumpang]. Masih belum signifikan dan lambat kenaikannya," jelasnya, Senin (22/6/2020).
Sebelumnya, emiten berkode saham GIAA mengaku hanya memiliki peluang meraup pendapatan dari tiket penumpang menjelang akhir tahun (natal dan tahun baru/nataru) setelah kehilangan empat peluang lainnya selama periode sibuk bagi maskapai.
Irfan Setiaputra menjelaskan hingga Mei 2020, jumlah penumpang perseroan hanya menyisakan sebesar 10 persen dibandingkan dengan kondisi normal. Padahal, sepanjang tahun biasanya memiliki lima periode high season.
Baca Juga
“Tinggal satu opsi saja untuk dinikmati akhir tahun. Namun ini juga belum pasti bisa saja kita kehilangan lagi. Ini tekanan finansial, yang sangat berarti,” jelasnya, Jumat (19/6/2020).
Dia menjelaskan kelima periode sibuk tersebut antara lain, pertama, musim mudik lebaran yang secara otomatis kehilangan momentumnya dengan adanya larangan mudik. Momentum kedua, yakni libur sekolah pada Juni - Juli dengan mayoritas pemesanan dibatalkan.
Selanjutnya, periode ketiga, maskapai pelat merah tersebut harus kehilangan penerbangan umrah yang biasanya bisa mengangkut penumpang 300.000 – 400.000 jemaah. Terakhir, GIAA kehilangan potensi sekitar 110.000 penumpang seiring dengan dibatalkannya pelaksanaan ibadah haji pada tahun ini.