Bisnis.com, JAKARTA – Faktor eksternal seperti kurs rupiah dan harga minyak dunia turut memengaruhi kinerja keuangan PT Pertamina (Persero).
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan faktor utama yang membedakan kinerja penjualan Pertamina pada 2018 dan 2019 adalah harga minyak dunia dan produksi yang dihasilkan Pertamina.
Adapun, pada 2018 harga minyak dunia bergerak pada level US$60 per barel dan kinerja produksi minyak siap jual atau lifting yang dikelola Pertamina pada 2018 cenderung membaik.
Sementara itu, pada 2019, harga minyak dunia bergerak pada tren pelemahan dan realisasi lifting Pertamina tidak mencapai target.
"Sehingga itu menyebabkan pendapatannya stagnan tidak ada kenaikan dibandingkan 2018," katanya kepada Bisnis, Jumat (19/6/2020).
Untuk tahun ini, lanjut Fahmy, kinerja Pertamina diproyeksikan lebih memburuk seiring dengan gejolak harga minyak dunia dan pembatasan pergerakan masyarakat yang menyebabkan permintaan bahan bakar minyak (BBM) turut tertekan.
Dengan dua asumsi itu, Fahmy memperkirakan pendapatan Pertamina sepanjang tahun ini bisa tergerus hingga 20 persen dibandingkan dengan realisasi 2019.
Sebelumnya, Pertamina telah menyiapkan analisa dampak Covid-19, pelemahan harga minyak dunia terhadap pendapatan perseroan.
Penurunan pendapatan terbesar disebabkan oleh faktor volume dan nilai tukar rupiah.
Adapun, Pertamina menyiapkan dua skenario atas analisa dampak kejadian itu. Dalam skenario berat yang menggunakan asumsi ICPUS$38 per barel dan nilai tukar Rp17.500, pendapatan Pertamina tergerus 29,94 persen.
Sementara itu, untuk skenario sangat berat dengan asumsi ICP US$31 per barel dan nilai tukar Rp20.000, pendapatan Pertamina sepanjang 2020 diprediksi tergerus 39,38 persen.
"Selama 2020 saya kira terlalu berat, nah rebound saya prediksikan di awal 2021 seiring dengan kenaikan harga minyak menuju harga normal dan juga konsumsi BBM akan meningkat itu baru akan tercermin pada 2021," ujar Fahmy.
Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kinerja Pertamina pada 2019 lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terjadi sepanjang tahun ini.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China dan mulai merebaknya Covid-19 diberbagai belahan dunia pada akhir tahun memberikan sentimen negatif terhadap harga minyak dunia.
Alhasil, kinerja sejumlah lini bisnis Pertamina harus terpukul seperti sektor hulu migas yang menderita karena harga minyak yang melemah, dan sektor hilir dengan pelemahan konsumsi.
"Utamanya akibat perang dagang, perang dagangnya sendiri terjadi di 2018 tetapi efek terberatnya justru di 2019," katanya kepada Bisnis, Jumat (19/6/2020).
Pada tahun ini, kata Komaidi, kinerja Pertamina diproyeksikan bakal lebih berat dibandingkan dengan tahun lalu.
Pasalnya, kedua sentimen negatif yakni harga minyak yang lemah dan pandemi Covid-19 semakin menekan kinerja perseroan.
"Kemungkinan [pendapatan] dari hilir bisa sekitar 30% lebih rendah [dibandingkan dengan 2019]," jelasnya.
Menurut dia, titik balik perbaikan kinerja Pertamina belum dapat diproyeksikan hingga saat ini mengingat kondisi eksternal yang masih belum stabil.
Komaidi menuturkan, perbaikan harga komoditas akan sangat bergantung dengan pemulihan ekonomi global setelah meredanya penyebaran Covid-19.
"Jika ekonomi stagnan kebutuhan energi akan stagnan," imbuhnya.