Bisnis.com, JAKARTA - Di antara kelompok masyarakat terdampak pandemi Covid-19 adalah para petani sawit swadaya. Bahkan, mereka terjepit di antara pelemahan permintaan pasar dan tekanan para tengkulak.
Pandemi Covid-19 yang memaksa pemerintah melakukan berbagai kebijakan pembatasan sosial telah mengakibatkan penutupan operasional pabrik pengolah kelapa sawit.
Dampak lanjutannya adalah permintaan terhadap hasil perkebunan yang melemah dan jatuhnya harga tandan buah segar(TBS) hingga akhir Mei 2020.
“Namun yang parah adalah, pandemi melahirkan isu lockdown kemudian digunakan oleh tengkulak untuk menekan harga di tingkat petani,” ujar Senior Advisor Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) Rukaiyah Rafik dalam diskusi daring, Kamis (18/6/2020).
Dia menilai salah satu kelompok masyarakat yang merasakan dampak terberat pandemi adalah petani swadaya yang tidak memiliki lembaga dan sangat tergantung pada toke dan tengkulak.
Menurutnya, petani swadaya sangat rentan terdampak ketika terjadi pembatasan aktivitas pabrik karena akan berdampak pada menurunnya serapan TBS dari petani dan juga pembatasan mobilitas angkutan dari kota ke desa. Pembatasan transportasi berdampak pada ketersediaan pupuk dan input untuk kebun petani, serta juga akan berdampak pada harga pangan.
Di sisi lain, kata dia, terdapat kelompok petani yang mampu bertahan pada masa pandemi ini, yaitu para petani yang mendapatkan sertifikasi RSPO. Para petani ini, kata dia, mendapatkan manfaat dengan adanya insentif dari sertifikasi yang dibuktikan dari pencairan insentif dari penjualan kredit RSPO sehingga memberikan tambahan dana untuk petani pemegang sertifikat.
Selain itu, kata dia, petani yang bersertifikat sudah pasti memiliki kelembagaan yang kuat dan memiliki akuntabilitas yang baik. Semua kelompok petani yang telah bersertifikat pun kata dia, memiliki keragaman bisnis yang di masa pandemik ini sangat menolong anggota mereka.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengamini bahwa petani swadaya memang terdampak pandemi karena harga TBS turun di bawah Rp 1.000/kg untuk tingkat petani swadaya sementara di tingkat petani plasma harga berkisar 1.200-1.300/kg.
“Tentu saja harga di bawah Rp1.100 akan sulit bagi petani karena produktivitas rendah hanya 1.000-1.200 kg/ha/bulan. Mereka jual ke tengkulak. Mereka juga memiliki beban utang ke tengkulak karena petani memiliki pinjaman dan dibayar pada saat panen,”ujarnya.
Menurutnya, petani sawit, tidak memiliki sumber pendapatan lain atau pendapatan utamanya hanya dari sawit. Hasil studi SPKS pada 2018 menyebutkan, hanya sekitar 30% petani memiliki pendapatan sampingan yakni dari berladang, bertani karet, dan menjadi pedagang kecil. Lahan pangan untuk petani PIR era Orde Baru dalam masa transmigrasi sebesar 0,75 ha telah dialihfungsikan menjadi kebun sawit.
Petani, tuturnya, juga tidak memperoleh sumber pendapatan lainnya. Biasanya keluarga petani mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi buruh di kebun para petani lainnya atau dari hasil panen karet yang jual di pasar. Para petani juga terhambat dengan harga pupuk yang selalu naik dan terkadang sulit diperoleh.
Tidak ada protokol untuk para pekebun/tukang panen. Sebagian petani tidak memperoleh BLT dari pemerintah. Petani butuh uang cash sementara proses transaksi pembayaran TBS bagi petani yang menjual ke perusahaan antara 1-2 minggu setelah buah diantar ke pabrik.