Bisnis.com, JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyusun tiga asumsi distribusi penerimaan dan biaya pengganti operasi (cost recovery) pada 2021.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan tiga asumsi distribusi penerimaan dan cost recovery berdasarkan tiga level harga minyak mentah Indonesia atau ICP.
Pada asumsi yang terendah dengan asumsi ICP US$40 per barel, distribusi penerimaan pada 2021 mencapai US$18,7 miliar dengan perincian US$8,4 miliar cost recovery, US$5,3 miliar bagian negara, US$5,01 bagian KKKS.
Sementara itu, pada asumsi ICP US$45 per barel, distribusi penerimaan negara diproyeksikan mencapai US$20,49 miliar yang terdiri atas cost recovery US$8,85 miliar, US$6,14 miliar bagian negara, dan US$5,5 miliar bagian KKKS.
Asumsi yang terkahir, dengan ICP pada level US$50 per barel, distribusi penerimaan negara diproyeksikan US$22,31 miliar dengan cost recovery US$9,19 miliar, bagian negara US$7,19 miliar, dan bagian kontraktor US$5,94 miliar.
"Asumsi yang kami gunakan range harga minyak, implementasi Permen ESDM No8/2020, serta Kepmen 89/2020 untuk harga gas, dan juga lifting minyakd
Baca Juga
Harry Purnomo, Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra turut mempertanyakan proyeksi yang dipaparkan oleh SKK Migas tersebut.
Harry menilai, asumsi yang diberikan oleh SKK Migas dinilai merugikan negara, khususnya dalam hal pendapatan negara dari sektor hulu migas.
Pasalnya, dalam tiga asumsi distribusi pendapatan dan cost recovery pada 2021, cost recovery yang dikucurkan pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara.
"Kalau dilihat grafik, kita buntung, tetapi pada outlook 2020 kita lost, kalau rugikan berarti kan APBN yang nombok ," ungkapnya.