Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mengelak bahwa penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai sumber permasalahan yang digaungkan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam surat the United States Trade Representative (USTR).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan penerapan pajak digital di Indonesia tidak dipermasalahkan oleh pemerintahan AS.
"PPN bukan subjek dari suratnya USTR. USTR itu mempermasalahkan adalah PPh [Pajak Penghasilan], yang ini merupakan subjek dari pembicaraan di OECD [Organisation for Economic Co-operation and Development] mengenai bagaimana perusahaan membagi kewajiban pajak penghasilannya antar jurisdiksi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (16/6/2020).
Terkait dengan surat USTR tersebut, Sri Mulyani menuturkan ini akan menjadi pembahasan secara bilateral ataupun secara bersama-sama.
"Untuk kepentingan bersama, kalau bisa aturannya sama untuk seluruh dunia. Jangan sampai ke Inggris begini, ke Perancis begini."
Adapun, pajak untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) adalah PPN yang dikenakan bagi perusahaan luar negeri yang tidak berdomisili di Indonesia tetapi memasarkan produk atau layanannya di Indonesia.
Baca Juga
Pengenaan pajak digital di Indonesia berupa Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 tahun 2020.
Dengan PMK di atas serta aturan di bawah yang yang telah diterbitkan, subjek pajak luar negeri sekarang bisa menjadi pemungut dan pengumpul PPN untuk disampaikan kepada pemerintah.
"Kalau PPN itu tidak ada dispute karena PPN yang membayar itu orang yang menikmati. Artinya itu pajak pertambahan nilai," tegas Sri Mulyani
Saat ini, yang belum ada penyelesaiannya itu terkait dengan PPh. Untuk soal ini, Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan bekerja sama dan berdialog. Dia meyakinkan ini bukan masalah Indonesia semata, tetapi semua negara menghadapi hal yang sama.