Bisnis.com, JAKARTA – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengalami kerugian periode tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp38,87 triliun pada kuartal I/2020.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kerugian usaha yang dialami oleh PLN terbesar di kurs atau nilai tukar.
"Jadi risiko kurs yang harus dimitigasi oleh PLN. Pemerintah saya kira perlu menyiapkan contigency plan kalau keuangan PLN ‘merah’ sampai dengan akhir kuartal II/2020," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (16/6/2020).
Menurutnya, kerugian yang dialami PLN bukan dikarenakan perusahaan menjalankan kebijakan pemerintah pemberian insentif untuk 450 VA dan 900 VA bersubsidi.
Fabby menilai kompensasi diskon tarif 450 VA dan 900 VA bersubsidi baru akan terlihat di laporan kuartal II/2020.
"Di Kuartal I/2020 kebijakan stimulus listrik belum ada," katanya.
Baca Juga
Dia kembali menegaskan rugi usaha yang dialami oleh PLN karena dominan disumbang oleh kerugian nilai tukar atau kurs. Selain itu, ada beberapa beban usaha yang mengalami kenaikan biaya pembelian listrik swasta.
"Renegosiasi IPP Thermal perlu disiapkan dan dibicarakan dg pemerintah. Beban usaha kan naik dr pembelian listrik dari IPP [Independent Power Producer]," ucapnya.
Dia menambahkan adanya kenaikan subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah pada kuartal I tahun ini dikarenakan rerata Biaya Pokok Produksi (BPP) 2020 yang mengalami kenaikan.
"Untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA yang relatif tetap maka selisih biaya produksi dan tarif untuk golongan pelanggan itu dihitung sebagai subsidi yang dibayar pemerintah," tutur Fabby.
Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi mengatakan pendapatan tenaga listrik pada kuartal I tahun ini mengalami kenaikan sebesar 5 persen dari periode yang sama tahun lalu
"Masih setara dengan kuartal I/2019, dengan kenaikan sekitar 5 persen untuk 3 bulan pertama," ujarnya.
Menurutnya, perolehan pendapatan PLN pada kuartal I ini dinilai wajar karena bulan Maret belum diberlakukan PSBB.
Selain itu, pembelian listrik dari IPP meningkat sekitar 29 persen dibandingkan dengan kuartal I tahun lalu, setara dengan asumsi yang diambil IEEFA pada forecast kemarin.
"Yang berbeda adalah adanya penurunan beban pembelian bahan bahan bakar dan pelumas, karena penurunan minyak, batu bara dan gas bumi yang cukup signifikan selama kuartal pertama," katanya.
Selain itu, yang juga tak diperkirakan adalah kerugian mata uang asing yang naik secara signifikan karena melemahnya posisi rupiah terhadap dolar terutama selama bulan Maret.
"Namun ini adalah unrealized forex loss, sehingga kalau dihitung menggunakan kurs di Juni, menurut Laporan ini maka biaya tsb bisa dikatakan tidak ada lagi karena kurs sudah kembali ke Rp14.000-an," tuturnya.
Elrika menilai yang perlu dilihat bahwa untuk kuartal I tahun ini PLN tak memasukkan pendapatan kompensasi, hanya mengikutsertakan pendapatan subsidi.
Oleh karena itu, apabila pendapatan kompensasi diikutsertakan dalam perhitungan ini, maka operating cash PLN akan lebih tinggi dari Rp6,9 triliun seperti yang tertera di laporan tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal I/2020 yang dikutip Senin (15/6/2020), Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengantongi pendapatan penjualan tenaga listrik Rp70,24 triliun atau naik 5,08 persen secara tahunan pada kuartal I/2020.
Adapun, pendapatan yang ada tidak bisa menopang beban-beban yang dipikul perseroan. PLN tercatat membukukan rugi periode tahun berjalan diatribusikan kepada entitas induk Rp38,87 triliun pada kuartal I/2020. Realisasi itu berbalik dari keuntungan Rp4,14 triliun per 31 Maret 2019.