Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja perdagangan Indonesia harus siap menghadapi tantangan dari sisi ekspor dan impor kala perekonomian global kembali menggeliat. Kebijakan yang bersebrangan dengan prinsip perdagangan yang adil diperkirakan bakal marak diterapkan oleh mitra dagang.
Dari sisi ekspor, aksi proteksionisme bakal mengganjal akses pasar produk Indonesia. Hal ini setidaknya terlihat dari munculnya tuduhan-tuduhan baru antidumping dansafeguard yang menyasar komoditas utama ekspor.
Kementerian Perdagangan mencatat bahwa Indonesia harus menghadapi 16 kasus trade remedies selama pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 14 kasus merupakan investigasi baru dan dua di antaranya adalah investigasi review atau peninjauan ulang.
India menjadi negara yang paling aktif melakukan investigasi tersebut dengan total 5 kasus. Posisinya disusul Amerika Serikat sebanyak 3 kasus dan Ukraina dengan 2 kasus. Negara-negara lain seperti Vietnam, Turki, Filipina, Uni Eropa, Australia, dan Mesir masing-masing menyumbang satu investigasi trade remedies.
Tuduhan-tuduhan tersebut menyasar berbagai produk yang mencakup monosodium glutamat (MSG), baja, alumunium, kayu, benang tekstil, bahan kimia, matras kasur, dan produk otomotif.
Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Srie Agustina mengemukakan Indonesia berpotensi kehilangan devisa ekspor sebesar US$1,9 miliar atau setara dengan Rp26,5 triliun jika ekspor produk tersebut dikenai bea masuk antidumping (BMAD) atau bea masuk tindak pengamanan (BMTP).
Baca Juga
"Ini angka yang tidak sedikit di tengah masa ketika kita membutuhkan sumber-sumber devisa untuk pendapatan negara. Ini jumlah yang besar hanya untuk kurun lima bulan pada 2020," kata Srie dalam seminar daring, Senin (8/6/2020).
Tantangan lain pun datang dari sisi impor. Permintaan yang terkontraksi selama pandemi secara nyata membuat serapan industri negara mitra dagang terganggu.
Seiring pulihnya perekonomian, negara-negara mitra dagang pun diperkirakan akan memberikan fasilitas guna menggenjot produk ekspornya. Guyuran stimulus itu pun dikhawatirkan bakal mendisrupsi produk-produk yang masuk ke pasar potensial seperti Indonesia.
"Kita mengharapkan insentif [di negara lain] tersebut bisa memulihkan demand shock dan memulihkan serapan. Tapi di lain pihak KADI [Komite Antidumping Indonesia] perlu mencermati apakah pemberian subsidi dan stimulus di negara tersebut dapat dikenai penyelidikan antisubsidi," lanjut Srie.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Mardjoko memperkirakan penyelidikan safeguard pada produk impor bakal meningkat pada 2020. Hal ini terjadi lantaran negara industri seperti China mulai kembali aktif berproduksi ketika negara-negara lain masih berfokus pada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
"China telah telah pulih dari pandemi Covid-19, dengan cadangan barang untuk ekspornya, mereka siap mengguyur ke pasar, termasuk Indonesia," ujar Mardjoko.
Sebagai catatan, KPPI mendata adanya tujuh permohonan barupenyelidikan safeguard selama Januari–Mei 2020. Permohonan ini diajukan menyusul adanya lonjakan impor pada tujuh produk yakni karpet dan penutup lantai tekstil, terpak, kertas sigaret, peralatan dapur dan makan, kaca lembaran, panel surya, dan garmen.
Dalam draf awal permohonan penyelidikan, Mardjoko memperlihatkan adanya tren peningkatan impor pada produk-produk tersebut dalam tiga tahun terakhir. Kenaikan impor sendiri bervariasi mulai dari 8 persen pada impor garmen sampai kenaikan 59 persen pada impor panel surya.
Potensi bertambahnya penyelidikan safeguard disebut Mardjoko memang bisa menyelamatkan industri dalam negeri dari ancaman kerugian efek dari lonjakan impor di saat serapan dalam negeri masih lesu. Di sisi lain, pengenaan BMTP pun bisa menambah potensi penerimaan negara.
Kendati demikian, dia mengaku peluang tersebut harus menghadapi tantangan terbatasnya investigator yang menjadi ujung tombak penyelidikan.