Bisnis.com, JAKARTA – Pada 20 Mei 2020, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat telah diterbitkan. Pada tahun lalu, komisioner beserta empat deputi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat pun sudah dilantik.
Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dibentuk untuk menggantikan dan memperluas jangkauan pembiayaan perumahan dari sebelumnya Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) yang hanya ditujukan bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2018 tentang Modal Awal Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat, modal awal BP Tapera bernilai Rp2,5 triliun yang terdiri atas Rp2 triliun sebagai dana kelolaan yang hasilnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan biaya operasional dan investasi BP Tapera dan Rp500 miliar untuk pemenuhan kebutuhan kegiatan investasi badan itu.
Meskipun BP Tapera belum beroperasi, saat ini PNS juga masih dikenakan potongan gaji untuk iuran. Dana tersebut dialirkan ke kas negara.
Program ini juga rencananya menjadi program besar yang akan menggantikan seluruh skema pembiayaan perumahan.
Setelah PP Nomor 25 Tahun 2020 diresmikan, BP Tapera diharapkan bisa segera beroperasi dan direalisasikan dalam setahun atau 2 tahun ke depan. Namun, masih terdapat pro dan kontra di tengah masyarakat sebagai pekerja, pemberi usaha, maupun pengembang perumahan.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa tapera bisa menjadi program yang bagus, hanya saja penerapannya harus jelas. Pasalnya, saat ini masyarakat sudah banyak mendapat potongan gaji untuk tabungan.
Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa seluruh jenis pekerjaan apapun yang menerima upah, baik milik negara maupun swasta akan diwajibkan menjadi peserta. Para peserta ini nantinya diwajibkan membayar iuran atau simpanan dengan besaran 3 persen dari upah atau penghasilan.
Apabila bekerja di perusahaan, iuran sebesar 3 persen tersebut akan ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja dengan besaran 0,5 persen bagi pemberi kerja dan 2,5 persen oleh pekerja, sedangkan untuk pekerja mandiri akan ditanggung sendiri seluruhnya oleh pekerja yang besangkutan.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengatakan bahwa potongan 0,5 persen masih bisa diterima oleh dunia usaha, tetapi kalau lebih dari itu bisa membebani perusahaan.
“Karena sudah ada banyak potongan dari BPJamsostek [Badan Pengelola Jaminan Sosial Tenaga Kerja], BPJS Kesehatan, kalau ditambah ini semuanya ditanggung perusahaan bisa sampai 9 persen. Lalu apa masyarakatnya mau dipotong 2,5 persen?” ungkapnya kepada Bisnis, Selasa (2/6/2020).
Endang memandang BP Tapera kurang efektif jika dijadikan tagihan wajib, terlebih untuk pekerja sudah banyak yang mempunyai rumah, mereka tidak bisa merasakan manfaatnya. Dulu, asosiasi pengembang mengusulkan agar potongannya hanya 1 persen dari upah dan ditanggung penuh oleh karyawan dari seluruh lini usaha.
Untuk skema itu, menurutnya, bisa lebih efektif karena sifatnya gotong royong dan jumlahnya bisa besar, dibandingkan dengan potongan 3 persen untuk karyawan dengan upah minimum.
Himperra mengusulkan agar nanti jika mulai beroperasi, pada 2 tahun pertama dihitung uang yang akan masuk dari iuran, jumlah uang itu kemudian meminta talangan dari BPJamsostek dan Taspen untuk nanti dikembalikan ketika sudah beroperasi. “Ini supaya bisa mulai cepat realisasi. Karena itu yang ditunggu, benar bisa lancar realisasi atau tidak."
Begitu mulai uangnya bisa dikembalikan dari iuran bulanan peserta, bisa juga ditambah bunga. Selanjutnya tahun ketiga, keempat, dan kelima, baru porsi investasi dan lainnya diurus untuk memenuhi kriteria lima tahun pertama.
“Jadi, pada tahun kelima semuanya tercatat sudah sesuai,”
Pro dan Kontra Masyarakat
Beberapa karyawan perusahaan saat dimintai pendapatnya terkait dengan potongan tambahan dari BP Tapera menunjukkan pro dan kontra.
Salah seorang wartawan di sebuah media, Debbyani Nurinda (25) mengatakan bahwa pemotongan tersebut selama jelas peruntukan dan besarannya tidak menjadi masalah. Terlebih untuk milenial dan pekerja baru yang kurang mementingkan menabung untuk beli rumah, BP Tapera bisa menjadi solusi.
“Kita kan masih muda, karena kadang kalau enggak diambil paksa ya, enggak akan kebeli rumah. Jadi, oke-oke aja,” katanya.
Begitu pula Sanny (26), karyawan perusahaan swasta. Dia mengatakan bahwa selama hasil akhir dari iurannya jelas, tak masalah jika gajinya dipotong. Yang menjadi perhatiannya adalah agar perusahaan mau mengurusi pemotongannya secara otomatis sehingga pekerja tak perlu ribet membayar sendiri.
“Hal seperti ini kalau dilihat dari segi ekonomi juga bisa mengurangi calon homeless. Jadi, supaya beban beli rumah ini jadi lebih ringan. Lagi pula kan iurannya enggak hilang begitu aja,” ujarnya.
Di sisi lain, pegawai salah satu bank swasta, Shahnaz mengatakan bahwa jika diwajibkan, iuran tersebut menjadi biaya yang tidak perlu, yang seharusnya bisa ditabung di pos lain, seperti untuk mempersiapkan kelahiran anak atau sekolah anak.
“Nanti enggak ada manfaatnya buat yang sudah punya rumah, kalau wajib ya, enggak enaklah,” ungkapnya.
Senada, Fauzan (28) mengatakan bahwa kewajiban iuran ini tidak terlalu bermanfaat bagi peserta, apaagi yang sudah memiliki rumah. Adapun, hal yang ditakutkan adalah biaya yang dibayarkan malah menguntungkan pihak-pihak tertentu.
“Terus potongannya cuma 3 atau 3,5 persen, setahun cuma dapat sedikit, apa cukup buat bantu cicil rumah?,” katanya.