Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai harus memanfaatkan momentum pergeseran rantai nilai global atau global value chains (GVC) yang selama ini terpusat di China.
Pasalnya, momentum ini dapat membantu menarik investasi asing yang lebih besar ke Tanah Air ke depannya sehingga pemulihan ekonomi dapat lebih cepat.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan sejumlah pihak berupaya mengurangi ketergantungan kepada China sejak perang dagang Amerika Serikat-China dan terlebih lagi dengan pandemi Covid-19.
Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bisa diuntungkan oleh relokasi besar-besaran dari China.
Sayangnya, walaupun dipandang potensial, Indonesia relatif tidak menarik bagi investor asing karena rumitnya peraturan-peraturan yang berlaku.
Hal ini disebabkan oleh peraturan yang rumit, berlapis dan tumpang tindih sudah sejak lama dikeluhkan sebagai faktor penghambat masuknya investasi di Indonesia.
"Pemerintah perlu memperkuat upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut, seperti penghapusan perda yang tidak ramah investasi dan integrasi proses perizinan melalui Online Single Submission (OSS),” terang Andree, Rabu (20/5/2020).
Baca Juga
Upaya penyederhanaan lain yang tengah digencarkan adalah melalui RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang pembahasannya resmi ditunda sejak April lalu.
Namun, dia menilai fungsi penyederhanaan RUU ini masih meragukan karena ternyata masih dibutuhkan lebih dari 400 peraturan pelaksanaan baru yang harus selesai dibuat dalam satu bulan setelah RUU diundang-undangkan.
Mengenai tenggat waktu satu bulan ini, Andree menuturkan Presiden dan kabinet sebaiknya fokus pada peningkatan kualitas peraturan pelaksanaan dengan memberikan waktu yang cukup untuk penelitian dan konsultasi publik.
Untuk memaksimalkan peluang masuknya PMA ke Indonesia, ada beberapa hal yang CIPS rekomendasikan ke pemerintah.
Yang pertama adalah perlunya memperpanjang waktu untuk peraturan pelaksanaan RUU Cipta Kerja.
Andree menjelaskan, Presiden dan DPR harus mempertimbangkan mengubah tenggat waktu satu bulan untuk penyesuaian dan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres) yang baru.
"Presiden dan DPR harus memastikan PP dan Perpres didukung dengan Naskah Akademik yang ekstensif dan konsultasi publik yang intensif," kata Andree.
Setidaknya, dibutuhkan waktu hingga 6 bulan atau atur tenggat waktu berjalan selama 3 bulan untuk pembahasan setiap klaster.
"Prioritas harus diberikan kepada klaster yang penting bagi pemulihan ekonomi, seperti pertanian dan manufaktur."
Selanjutnya adalah urgensi untuk mengontrol peraturan kementerian.
Dia melihat Presiden perlu menetapkan standar penyederhanaan peraturan bagi para Menteri dan juga mengajukan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 terutama pada Pasal 8 untuk membatasi regulasi proaktif oleh kementerian.
Langkah berikutnya adalah perlunya melakukan evaluasi berkala terhadap peraturan yang ada.
Mengingat terbatasnya sumber daya dan kapasitas yang ada, Andree mengungkapkan evaluasi berkala penting untuk melengkapi upaya reformasi besar seperti RUU Cipta Kerja.
Yang terakhir, lanjut Andree, adalah dengan mengembangkan peta visual kerangka kerja peraturan.
Untuk memfasilitasi reformasi besar dan evaluasi berkala, pemetaan Jaringan Legislatif bisa bermanfaat. Teknik ini mulanya diperkenalkan untuk mengukur tingkat kerumitan legislasi Uni Eropa.
Pemetaan yang serupa dapat dilakukan pada pusat data pemerintah Indonesia, peraturan.go.id. Menurutnya, peta visual seluruh kerangka kerja peraturan dapat menunjukkan hubungan antara simpul-simpul peraturan yang sulit dilihat dalam bentuk tabel.
Alat ini bisa digunakan untuk menentukan dan memonitor perubahan yang perlu dilaksanakan.