Bisnis.com, JAKARTA – Pengembang hunian subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadikan penjualan secara daring sebagai satu-satunya jalan untuk bisa menyelamatkan diri menghadapi pandemi Covid-19. Namun langkah tersebut dinilai masih sulit dilakukan secara optimal.
Sekretaris Jenderal DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Ari Tri Priyono juga menyebutkan bahwa penjualan daring menjadi satu-satunya jalan bagi pengembang untuk bisa mendapat aliran kas.
“Masalahnya MBR agak sulit kalau diminta pilih rumah secara daring,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (17/5/2020).
Kemudian, ancaman bagi pengembang MBR juga lebih besar mengingat banyaknya pemutusan hubungan kerja dari karyawan-karyawan kelas menengah bawah. Hal ini membuat banyak konsumen yang gagal bayar dan setop mengangsur.
“Ini berat sekali, sudah penjualan menipis, konsumen yang ada gagal bayar, calon konsumen baru kriterianya diperketat oleh bank, leher pengembang makin tercekik,” ungkap Ari.
Ari mengatakan, apabila kondisi ini terus berlanjut, pengembang juga terpaksa harus gulung tikar, gagal bangun, dan melakukan PHK. Padahal, harapannya pengembang sebagai sektor padat karya dan memiliki multiplier effect, bisa terus berjalan dan tidak sampai melakukan PHK pada karyawan dan pekerjanya.
Baca Juga
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengatakan bahwa penjualan secara daring sudah dilakukan sejak lama oleh para pengembang, termasuk pengembang rumah subsidi.
Strategi penjualan tersebut juga akhirnya menjadi andalan di tengah pandemi akibat adanya aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
“Namun, konsumen menengah umumnya masih tetap harus melakukan peninjauan lokasi. Ini tetap bisa dilakukan ketika sudah finishing, losing unit yang akan dibeli,” ungkapnya.
Daniel menyebutkan, dengan pengembang dan konsumen yang sudah bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini, permintaan dan kebutuhan akan rumah menengah bawah dan subsidi masih tetap banyak, meskipun mengalami penurunan dibandingkan dengan tanpa wabah.
“Rumah menengah atas permintaannya mengalami penurunan yang signifikan sampai 30 – 49 persen. Sedangkan rumah MBR turun kurang lebih 30 persen,” ungkap Daniel.
Melihat hal itu, Daniel menyebutkan bahwa saat ini juga sudah banyak pengembang besar yang akhirnya terjun ke pasar rumah tapak kelas bawah. Hanya saja, agar tak masuk ranah subsidi, harga rata-ratanya masih di atas harga subsidi.