Bisnis.com, JAKARTA — Akibat wabah Covid-19, banyak industri termasuk properti terdampak secara finansial dan terpaksa sampai merumahkan para karyawannya. Untuk menghindari hal tersebut, para pengembang properti meminta ketegasan pemerintah dan perbankan terkait dengan restrukturisasi kredit.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa asosiasi sudah menyurati pemerintah upaya yang bisa dilakukan pengembang untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja dengan para karyawan dan tenaga kerja di lapangan salah satu adalah dengan restrukturisasi kredit di perbankan.
“Kami minta penundaan bayar pokok dan bunga, agar cashflow-nya bisa digunakan untuk bayar karyawan. Kalau digantung lama oleh perbankan karena pemerintah kelamaan memberikan instruksi, kami tidak tahu bisa bertahan berapa lama,” ungkapnya dalam konferensi video, Kamis (14/5/2020).
Pengembang perlu kepastian dari pemerintah dan perbankan. Terlebih, belum ada yang bisa memprediksi sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Kalau terlalu lama mengambil langkah, dikhawatirkan pengembang pada akhirnya harus melakukan PHK, terutama dari pengembang kecil.
“Lagi pula kami bukan minta enggak bayar utang. Jadi, selain end user, pengembang juga perlu segera dibantu pemerintah, OJK [Otoritas Jasa Keuangan], dan bank untuk membantu kami, developer dan calon end user di Indonesia.”
Totok menyebutkan bahwa di Bank Tabungan Negara (BTN) saat ini pengajuan restrukturisasi kredit pemilikan rumah (KPR) sudah hampir 270.000, hanya untuk KPR subsidi dan belum termasuk kelas menengah atas. Dari rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) itu BTN menyampaikan nilainya sekitar Rp31 triliun.
Baca Juga
“Harapannya semua juga mulai mempercepat dalam memberikan relaksasi karena sampai sekarang belum lancar berjalan di lapangan,” tambah Totok.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Properti Hendro Gondokusumo menambahkan bahwa dukungan dari pemerintah dan perbankan pada sektor properti bisa membantu propeti menjadi lokomotif perekonomian Indonesia.
Pasalnya, ada 175 industri ikutan properti yang akan ikut terdampak apabila properti terhambat. Belum lagi, penggunaan tenaga kerja dan bahan baku lokal pada pengembangan di Indonesia mencapai 90 persen.
“Dikhawatirkan akan ada jutaan tenaga kerja yang terdampak kalau angkah yang diambil pemerintah tidak segera,” kata Hendro.
Adapun, bantuan relaksasi dan stimulus tersebut harapannya bisa membantu memperbanyak kontribusi sektor properti pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini baru mencapai 2,77 persen. Jumlah tersebut jauh dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, padahal sektor propertinya bergantung pada impor.
“Singapura, Filipina, Malaysia sudah lebih dari 20 persen pangsanya, Thailand 8,3 persen. Kalau Indonesia bisa sampai 8 persen saja sudah cukup bagus,” tuturnya.