Bisnis.com, JAKARTA - Pengembang properti dinilai masih relatif mampu bertahan di tengah gempuran ketidakpastian ekonomi akibat virus corona jenis baru atau Covid-19 yang telah turut memukul industri ini.
Sektor properti, yang diramalkan bisa bangkit pada tahun ini setelah mati suri setidaknya lima tahun belakangan mesti rela menunda kebangkitannya akibat lesunya penjualan di awal tahun akibat corona.
Pakar properti Panangian Simanungkalit percaya jika pengembang properti masih mampu bertahan di tengah masalah besar akibat corona yang hanya bersifat temporer. Menurut dia, krisis saat ini diharapkan berbeda jauh dari krisis 1998 yang benar-benar memukul industri ini.
"Saat itu bunga kredit melonjak sampai 70 persen. Hampir semua pengembang bangkrut. Kalau sekarang, kan, suku bunga tidak ada masalah, bahkan sedang menurun, yang masalah hanya penurunan permintaan yang bersifat sesaat, jadi aman," katanya pada Bisnis, Kamis (9/4/2020).
Direktur Pusat Studi Properti Indonesia itu menyadari bahwa pengembang memang perlu ancang-ancang atau waspada terhadap serangan sentimen Covid-19 terutama pada pengembang rumah kelas menengah bawah yang terlalu mengandalkan kredit bank dalam struktur permodalannya atau dalam kata lain pengembang yang jumlah modalnya relatif kecil dibandingkan dengan jumlah pinjaman kreditnya dari bank.
Apalagi, kata dia, pengembang juga sebagian besar bukan hanya menggunakan kredit konstruksi untuk membangun, tetapi juga menggunakan kredit juga dalam pembebasan lahannya. "Nah, pengembang seperti inilah yang paling terdampak pada tahun ini."
Baca Juga
Kendati demikian, pengembang tersebut diminta jangan terlalu khawatir. Sebab, ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2020 terkait dengan Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.
Dengan aturan itu, menurutnya, pengembang bisa mengajukan restrukturisasi kredit ke perbankan sehingga terbuka kemungkinan pengembang ini bisa menunda pembayaran kreditnya selama satu tahun atau tergantung kebijakan masing-masing bank.
"Jadi selama pengembang ini bisa melakukan restrukturisasi maka dia pasti bisa bertahan. Karena penurunan pasar paling hanya tahun ini saja," kata dia.
Dia juga menyatakan bahwa pengembang yang paling relatif aman dari isu ini adalah pengembang yang hanya menggunakan kredit konstruksi saja dalam struktur permodalannya.
"Nah pertanyaanya, lebih banyak mana pengembang rumah kelas menengah bawah di Indonesia saat ini? Menurut saya lebih banyak yang hanya menggunakan kredit konstruksi saja dalam permodalannya. Jadi praktis tidak ada masalah kalau untuk bertahan pada tahun ini," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menjelaskan bahwa perbankan hanya memberi pengurangan suku bunga kredit pada nasabah atau debitur yang terdampak.
Padahal, sebaiknya perbankan memberi penundaan pembayaran dengan batas waktu minimal yang ditetapkan. Menurut Totok, bank masih setengah hati dalam menyetujui rekstrukturisasi kredit para debiturnya.
"Bank-bank ini pada mengusulkan untuk pengurangan bunga, jadi kita maunya itu bukan pengurangan bunga tetapi penundaan karena sekarang ini [uang itu] untuk [keperluan] hidup sehari-hari dulu," kata dia.
Masalah ini, tuturnya, perlu diperhatikan supaya kredit macet tidak terjadi pada saat kondisi seperti ini, sehingga kejadian pada 1998 tidak terulang kembali. Lagi pula, tidak ada yang bisa memastikan kapan Covid-19 akan mereda.
"Maka perbankan kasihlah restruktur berupa penundaan pembayaran, bukan pengurangan [suku bunga kredit]," katanya.