Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan kepanikan yang cukup tinggi di sektor keuangan.
Bahkan, menurut Sri Mulyani, tingkat kecemasan tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan masa periode krisis keuangan yang pernah beberapa kali terjadi. Pada pemilik modal menarik modalnya dari negara berkembang termasuk Indonesia dan memidahkan ke asset safe haven seperti emas dan dolar.
“Ada kepanikan di pasar keuangan, kepanikan mencapai level tertinggi sepanjang sejarah, arus modal keluar dari negara berkembang sangat besar. Arus perpindahan dari Indoneesia ke luar kali ini lebih tinggi dari 2008 dan taper tantrum,” katanya.
Hal ini disampaikan Sri Mulyani dalam Pidato Menteri Keuangan atas Penyampaian pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 pada Sidang Paripurna DPR, Selasa (12/5/2020).
Penyebaran pandemi Covid-19 dalam 4 bulan terakhir menjalar sangat cepat dengan jumlah penderita sebanyak 4 juta dan 277.000 orang dilaporkan meninggal pada awal Mei ini. Di Indonesia, jumlah meninggal mencapai 991 orang. Jumlah penderita dan korban saat ini masih terus meningkat
Berbagai langkah sudah dilakukan untuk menangani mulai dari social distancing, penutupan perbatasan, kantor, tempat ibadah, serta isolasi wilayah. Akan tetapi langkah ekstrim ini menyebabkan aktivitas masyarakat turun drastis dan kegiatan ekonomi turun. Akibatnya, sektor konsomsi menjadi turun, aktivitas produksi terkendala, dan rantai pasok terganggu.
Dia menjabarkan kegentingan ini menjadi alasan bagi pemerintah mengeluarkan Perppu nomor 1/2020 yang menjadi landasan hukum untuk menjaga stabiitas ekonomi dan keuangan.
Apalagi, dampak Covid sudah tampak pada pertumbuhan ekonomi global yang akan mengalami resesi. Pada Januari, IMF masih optimistis pertumbuhan ekonomi global sebesar 3% tapi pada April dikoreksi menjadi minus -3%.
Pada kuartal I/2020, sejumlah negara sudah mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif seperti Prancis -5,4%, Singapura -2,2%. Adapun, Indonesia kendati masih tumbuh positif 2,9% namun angka ini mengalami koreksi yang cukup dalam.
“Ini bila tidak diantisipasi, akan menjalar ke sektor keuangan, meningkatkan kredit bermasalah, dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.”