Bisnis.com, JAKARTA – Pesona Bali sebagai daya tarik wisata mancenagara sebetulnya bisa menjadi peluang investasi di pengembangan gedung vertikal seperti kondiminium hotel atau kondotel dalam beberapa jangka waktu ke depan.
Apalagi, sepanjang tahun lalu, setidaknya ada 6,3 juta wisata mancanegara (wisman) yang datang ke Bali atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2018 silam. Lalu, jika melihat potensi yang ada, bagaimana peluang investasi hunian vertikal di Bali?
Manager Research & Consultancy Coldwell Banker Commercial Angra Angreni mengatakan bahwa pasar hunian vertikal di Bali berupa apartemen atau yang umumnya berupa kondotel, pada dasarnya memang belum begitu prospektif untuk saat ini bila dibandingkan dengan Batam.
Proyek baru yang diluncurkan di Pulau Dewata pun belum terserap maksimal atau masih di bawah 50 persen. Dengan kata lain, pasar di Bali masih bergerak moderat, lambat, dan kondisi ini masih akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan.
"Terlihat bahwa pasokan yang saat ini diluncurkan di pasar cenderung sedikit, di bawah 200 unit per proyek. Proyek saat ini juga memasarkan produknya secara bertahap, mungkin sebagai indikator untuk melihat bagaimana respons pasar," katanya kepada Bisnis, Selasa (12/5/2020).
Di Bali, terdapat peraturan sendiri bahwa ketinggian hunian vertikal tidak boleh melebihi 15 meter sehingga pada umumnya hunian vertikal di sana hanya terbatas pada lima lantai.
Baca Juga
Selain itu, belum ada peraturan daerah yang mengizinkan pembangunan apartemen. Maka, kata Angra, tak jarang pengembang menyiasatinya dengan menamakan proyeknya berupa apartemen meskipun izin proyek tersebut berupa kondotel. Hal ini, katanya, bagian dari strategi pemasaran.
Angra mengatakan bahwa pasar hunian vertikal di Bali memang sudah mengalami stagnansi sejak lebih dari 2 tahun terakhir. Namun, sejak pertengahan 2019 hingga akhir 2019 sebetulnya terdapat proyek baru di daerah Kuta Utara, tepatnya di Canggu dan Kerobokan.
Proyek tersebut berasal dari segmen menengah atas dan premium dengan rentang harga Rp1,2 miliar hingga Rp2 miliar per unit. Kemunculan proyek itu sebetulnya menjadi harapan baru agar pasar hunian vertikal di Bali kembali menggeliat.
Terlebih, kata dia, di tengah masih terbatasnya pasokan yang berujung pula pada terbatasnya permintaan. Apalagi, pada kuartal sebelumnya tidak ada penyerapan lantaran tidak adanya proyek yang menarik sebagai pilihan investasi.
Belum cemerlangnya pasar hunian vertikal di Bali tercermin pada kinerja selama kuartal I/2020. Dia mengatakan bahwa selama 3 bulan pertama terjadi penurunan permintaan bersih sebesar 41 persen.
"Angka 41 persen tersebut sebenarnya tidak bisa dijadikan patokan untuk mengatakan bahwa permintaan turun drastis ataupun tidak prospektif sama sekali, karena selisih permintaan pada kuartal pertama tahun ini jika dibandingkan kuartal sebelumnya tidak begitu jauh, kurang lebih hanya 20-an unit," tuturnya.
Dia mengatakan bahwa virus corona baru atau Covid-19 juga cukup berdampak pada permintaan, terlebih Bali menjadi daerah yang sangat terpukul sehingga penyerapan pada kuartal pertama mengalami perlambatan.
Saat ini pembeli hunian vertikal di Bali mayoritas berasal dari investor Jakarta, Bali, atau pun investor Indonesia yang bekerja sama dengan investor Australia, China, dan Jepang.
TUJUAN WISATA
Senior Director Ciputra Group Artadinata Djangkar menyatakan bahwa memang banyak investor yang tertarik pada bisnis kondotel di Bali, yang didorong oleh salah satu tujuan terbaik wisata mancanegara.
"Selama beberapa tahun terakhir, cukup banyak proyek kondotel di Bali, yaitu apartemen dalam bentuk seperti hotel, kemudian dioperasikan sebagai hotel. Jadi pembelinya membeli sebagai investasi murni," katanya.
Meski demikian, pria yang memang mengurusi proyek hunian vertikal di Ciputra ini mengaku bahwa pihaknya belum berencana ekspansi dalam pembangunan kondotel di Bali meskipun pangsa pasar di sana tetap ada dan terbuka.
Saat ini, pihaknya masih akan fokus pada investasi Ciputra Beach Resort yang menjual vila dan kaveling dengan harga mulai Rp1 miliar ke atas.
"Kalau kondotel, umumnya pengembang harus memberikan garansi sewa, ini yang kadang-kadang terasa berat," katanya.