Bisnis.com, JAKARTA - Komoditas batu bara Indonesia diproyeksikan akan semakin tertekan di sepanjang kuartal II akibat semakin turunnya harga.
Harga Batubara Acuan (HBA) kembali merosot di bulan Mei 2020 ke angka US$61,11 per ton. HBA Januari mencatatkan angka di US$65,93 per ton, turun dari US$66,30 per ton di Desember 2019.
HBA sempat naik di Februari menjadi US$66,89 per ton dan Maret sebesar US$67,08 per ton. Lalu, HBA kembali mengalami penurunan di April yang mencapai US$65,77 per ton.
Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan kondisi HBA diperkirakan akan semakin menurun.
Dampak pada sektor batu bara akan terasa pada kuartal II dengan tekanan terhadap sektor pembangkit dan industri karena penurunan energi hampir rerata negara importir adalah sekitar 10 persen hingga 20 persen.
"Ini kecuali Jepang yang penurunannya relatif kecil," ujar Singgih kepada Bisnis, Rabu (6/5/2020).
Menurut Singgih, akibat tekanan atas ekspor batu bara ini tentu akan mempengaruhi indeks harga yang turun termasuk HBA.
"Melihat dampak Covid-19 masih terjadi dan India sebagai prospek pasar batu bara masih lockdown sampai saat ini. Indeks industri mereka turun tajam, maka jelas di kuartal ke II saya melihat justru kita akan dihadapkan pada tekanan harga yang cukup besar dibandingkan kuartal I," kata Singgih.
Singgih menilai penjualan ekspor tetap akan terbuka meski tekanan harga akan lebih besar. Apalagi Australia sampai saat ini belum ada keinginan untuk menurunkan volume produksi. Tentu dengan zonasi pasar ekspor yang relatif sama, kondisi itu akan berdampak pada pasar batu bara Indonesia yang masih akan tertekan.
Singgih menuturkan di tengah ekspor yang terbatas karena rendahnya permintaan dan harga yang tertekan dibutuhkan peran dari pemerintah.
"Sebatas stimulus pajak bisa jadi ke depan belum mampu mempertahakan atas tekanan pasar, apalagi urusan pajak terkait dengan perhitungan kalkulasi akhir tahun," kata Singgih.
Pemerintah sudah seharusnya menyiapkan sikap yang lebih jelas untuk mempertahankan operasi saat ini, seperti perhitungan pembayaran nilai royalti dan mekanisme waktu pembayaran.
"Mengingat kondisi pasar yang terbangun bukan sepenuhnya kendali kita, termasuk juga kompetitor kita yaitu Australia atas kebijakan yang ada, juga keinginan Pemerintah agar perusahaan tambang tidak melakukan PHK, maka langkah yang dilakukan sebatas menghadapi pasar dengan upaya pada efisiensi biaya produksi," terang Singgih.