Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri hasil tembakau atau IHK mengharapkan kepekaan pemerintah dalam membuat kebijakan sehingga menjaga keberlanjutan industri tembakau.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi mengatakan masa depan pelaku IHT di tengah kondisi ekonomi yang tidak kondusif juga mengalami ketidakpastian pada pengusaha.
Hadirnya kebijakan pemerintah yang dapat melindungi pelaku IHT serta mengakomodir kebutuhan pasar hasil tembakau menjadi penting. Saat ini, akibat terdampak pandemi virus corona, produktivitas pabrikan di beberapa kota sentra tembakau yang menurun. Hal ini juga diperparah dengan berkurangnya daya beli masyarakat.
Dengan kondisi industri tersebut, Djoko berharap pemerintah dapat menjaga aturan yang saat ini telah berlaku imbang bagi seluruh pihak, tanpa menerapkan perubahan yang membuat kondisi semakin tidak menentu.
"Kami punya banyak sekali mitra usaha kecil dan menengah yang sangat bergantung pada kestabilan peraturan. Adanya wacana-wacana perubahan kebijakan agar tidak dilanjutkan karena akan menyulitkan perusahaan untuk membangun strategi, khususnya di masa penurunan ekonomi yang terjadi sebagai dampak wabah Covid-19," katanya melalui siaran pers, Rabu (6/5/2020).
Saat ini, pabrikan rokok kecil dan menengah adalah penyerap tembakau kualitas standar terbesar. Dalam praktiknya, perbedaan grade tembakau juga memengaruhi penyerapan oleh masing-masing pabrikan.
Baca Juga
Kualitas tinggi biasanya akan dipasok ke perusahaan-perusahaan rokok besar, sedangkan kualitas standar akan diambil oleh pabrik rumahan. Adapun, jenis pertanian tembakau di Indonesia memiliki kualitas yang beragam. Umumnya, ketinggian area tanam membuat kualitas tembakau berbeda.
Tembakau Grade 1 ditanam di ketinggian 1.200-1.400 mdpl, sedangkan Grade 2 berada di ketinggian 800-1000 mdpl. Hal tersebut yang membuat komoditas tembakau di Indonesia memiliki pasarnya sendiri dan menumbuhkan banyak skala pabrikan di berbagai provinsi.
Selain itu, pabrikan rokok kecil dan menengah juga merupakan pemasok rokok dengan harga ekonomis kepada konsumen kelas menengah ke bawah. “Namun, keragaman ini penting untuk saling melengkapi kebutuhan masyarakat dari kelas ekonomi yang beragam sekaligus menjadi mata pencaharian utama untuk menyambung kehidupan,” ujar Djoko.
Meski demikian, keberadaan pabrik rokok di Indonesia diketahui telah menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2011 terdapat 1.540 pabrik rokok kecil, menengah, hingga besar di Indonesia. Namun, pada 2017 jumlah ini menurun drastis menjadi 487 pabrik saja.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menambahkan perlindungan akan komoditas tembakau nasional harus terus diperhatikan. Jika semakin banyak pabrik rokok khususnya golongan kecil dan menengah gulung tikar, maka serapan terhadap komoditas tembakau juga semakin berkurang.
“Bagaimana dengan nasib komoditas tembakau dalam negeri serta kelangsungan petani-petani tembakau. Dibutuhkan aturan yang jelas dan tidak berubah-ubah agar tidak mengancam usaha skala kecil-menengah dan tentunya para petani tembakau,” kata Agus.
Sisi lain, keragaman pabrik hasil tembakau di Indonesia diakui dan dirangkum jelas di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai tarif cukai hasil tembakau.
Dalam aturan ini, disebutkan pengkategorian pabrikan tembakau di Indonesia berdasarkan jenis rokok, yaitu SKM (Sigaret Kretek Mesin), SPM (Sigaret Putih Mesin), dan SKT (Sigaret Kretek Tangan), kelas pabrikan berdasarkan jumlah produksi setiap tahunnya, serta Harga Jual Eceran (HJE) dari produk rokok yang dihasilkan.