Polemik penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) terus bergulir di tengah masyarakat seiring dengan masih lemahnya harga minyak dunia.
Banyak pihak yang menuntut harga BBM tersebut diturunkan dengan asumsi minyak mentah yang menjadi bahan baku utama BBM yang dikonsumsi masyarakat saat ini sedang murah.
Namun, pemerintah selaku regulator yang mengatur harga BBM di pasaran dan juga badan usaha sebagai operator menyebut penetapan harga BBM tidak sekadar mempertimbangkan harga minyak dunia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan banyak pertimbangan yang dikaji lebih dalam oleh pemerintah.
Adapun, alasan pemerintah masih menjaga harga tetap karena harga minyak dunia dan kurs masih tidak stabil serta dapat turun.
"Kami juga masih mencermati perkembangan dari pada harga minyak internasional, karena periode Mei ini periode di mana OPEC sudah berlakukan pemotongan produksi hariannya," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Senin (4/5/2020).
Selain itu, keberlangsungan usaha industri migas dalam negeri juga menjadi pertimbangan lain yang dipikirkan pemerintah. Pasalnya, rendahnya serapan BBM selama masa pandemi Covid-19 menjadi sangat melemah.
Kementerian ESDM mencatat, hingga April 2020, volume penjualan BBM di Indonesia turun secara signifikan sekitar 26,4 persen dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19 yakni pada periode Januari—Februari 2020.
Kondisi itu, kata Arifin, membuat stok BBM yang ada di PT Pertamina (Persero) menjadi berlebih menjadi tiga kali lipat dari pasokan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Hal itu membuat biaya badan usaha migas pada umumnyaa menjadi membengkak, khususnya Pertamina yang juga sebagai perusahaan migas pelat merah.
Pasalnya, Arifin mengatakan kilang-kilang harus tetap beroperasi untuk merespon output dari sumur-sumur yang ada di Indonesia.
"Kalau sumur setop, kemungkinan di start lagi sumur ini bisa hilang capacity nya. Dan juga memberikan dampak yang sangat berat untuk KKKS, karena kembali lagi bahwa, sharing ini, pemerintah menangungg porsi yang lebih besar," ungkapnya.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan duduk perkara sulitnya menurunkan harga BBM di tengah kondisi harga minyak dunia yang tertekan dan melemahnya kurs mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat.
Nicke mengatakan harga BBM dibentuk menggunakan formula harga yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Dari sisi Pertamina, lanjutnya, penyesuaian harga akan sangat mudah jika pihaknya berperan sebagai trading company.
“Memang mudah sekali ketika harga BBM yang kita beli murah, maka kita langsung bisa kita jual,” katanya.
Di sisi lain, Pertaminia juga mengkonfirmasi penurunan pelemahan penjualan BBM selama masa darurat Covid-19.
Hingga Mei 2020 Pertamina mencatat penurunan permintaan BBM sebesar 25 persen dibandingkan dengan rata-rata konsumsi harian normal.
Pertamina mencatat, kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Makassar mencatatkan pelemahan konsumsi BBM hingga 50 persen dibandingkan dengan kondisi normal.
Pelemahan konsumsi BBM bisa lebih besar jika nantinya semakin banyak kota-kota di Indonesia memberlakukan PSBB.
"Masalahnya harga murah tapi tidak ada yang mau beli barang, jadi semua keuntunan tidak dapat, demand tidak ada, ditambah dolar naik, bagi kami dampaknya tidak positif hari ini, dampaknya negatif," ungkapnya.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan penetapan harga BBM di Indonesia sudah mengikuti perkembangan harga pasar yang ada karena patokan harganya menggunakan formula MOPS dan Alpha.
Kendati demikian, penetapan tersebut dikembalikan kepada pemerintah sebagai regulator.
"Hanya, kalau masalah penetapan harga BBMnya yang diberlakukan kan memang menjadi kewenangan pemerintah," jelasnya.
Menurut dia, penurunan harga BBM memang sudah seharusnya dilakukan kajian secara objektif, jelas, dan terukur.
Perlu dikaji secara cermat dan menjaga keseimbangan berbagai aspek, seperti membantu menaikan daya beli masyarakat dan stimulus ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah tetap harus memerhatikan keseimbangan indikator makroekonomi secara keseluruhan baik fiskal maupun moneter, dan juga kesehatan kinerja keuangan badan usaha sebagai penyedia BBM.
"Semua dikembalikan ke Pemerintah yang tahu objektifnya mau apa dan yang tahu keseimbangan berbagai aspeknya tersebut," katanya kepada Bisnis, Selasa (5/5/2020).
Peneliti Indef Abra P. G. Talatto menilai keputusan pemerintah untuk menahan rencana penurunan BBM dengan alasan memonitor pergerakan harga minyak dunia sudah tepat.
Pasalnya, situasi turun naiknya harga minyak dunia secara ekstrem bak roller coaster sangat mungkin terjadi paska pandemi Covid-19 usai.
Belajar dari masa-masa krisis sebelumnya, seperti yang terjadi pada 2008, harga minyak dunia bisa bergerak secara ekstrem.
"Ketidakpastian pergerakan harga minyak mentah dunia betul-betul harus diperhatikan pemerintah," katanya.
Penurunan harga minyak saat ini bisa memengaruhi nilai keekonomian dari kiilang-kilang di dalam negeri.
"Pemerinntah juga perlu memperhatikan ketahanan energi kita, supaya tekanan ini tidak membuat BUMN merugi, khawatir menggangu investasi dan produksi di hulu, ketika dunia normal produksi kita menyusut dan akan bergantung ke import," ungkapnya.
Adapun, risiko yang akan dihadapi pemerintah jika menurunkan harga BBM saat ini adalah jika nantinya sewaktu-waktu harga minyak naik, bisa menyebabkan harga bahan pokok menjadi melonjak.
Di sisi lain, penurunan harga BBM dinilai tidak terlalu berdampak signifikan untuk mendorong daya beli masyarakat.
"Kalau melihat situasi inflasi rendah dan permintaan BBM relatif menurun justru jadi anti klimaks penurunannya tidak akan terlalu berpengaruh kepada inflasi," jelasnya.