Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengangguran Akibat Covid-19 Sulit Direm, Ini Konsekuensinya

Bila angka pengangguran makin tinggi dan intervensi proteksi daya beli serta stimulus ke sektor riil tidak cukup berhasil, maka pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 akan makin berat.
Ilustrasi/adweek.com
Ilustrasi/adweek.com

Bisnis.com, JAKARTA - Geliat ekonomi sektor riil akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk pulih apabila pemerintah tidak mempercepat stimulus selama pandemi Covid-19 untuk menekan pengangguran, mengintervensi daya beli masyarakat, dan menjaga kondisi finansial dunia usaha.

Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/5/2020) melaporkan per Februari 2020, atau sebelum pandemi Covid-19 menyeruak, angka pengangguran di Indonesia mencapai 6,88 juta naik 60.000 orang secara tahunan.

Adapun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2020 turun menjadi 4,99 persen dari 5,01 persen periode yang sama tahun lalu. Total angkatan kerja pada bulan kedua tahun berjalan mencapai 137,91 juta orang, dengan jumlah penduduk bekerja mencapai 131,03 juta orang.

Kepala BPS Suhariyanto memproyeksikan jika masa darurat pandemi bisa berakhir 29 Mei 2020 seperti asumsi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TPT tahun ini bisa mencapai kisaran 4,8 persen—5 persen dari total angkatan kerja. 

Namun, jika masa pandemi tak kunjung teratasi hingga kuartal II/2020 berakhir, TPT di Indonesia pada tahun ini dikhawatirkan melambung lebih tinggi dari level 5 persen.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani berpendapat bila angka pengangguran makin tinggi dan intervensi proteksi daya beli serta stimulus ke sektor riil tidak cukup berhasil, maka pemulihan ekonomi pascapandemi akan makin berat.

“Apalagi, bila wabah terus berlanjut melewati kuartal II/2020, sektor riil akan makin sulit rebound. Paling cepat perlu waktu 1 tahun baru akan rebound karena perlu waktu lebih lama untuk memulihkan daya beli dan confidence masyarakat untuk melakukan konsumsi di level domestik yang menjadi pendorong utama aktifitas ekonomi sektor riil nasional,” tegasnya, Selasa (5/5/2020).

Dia berpendapat, TPT di atas level 5 persen sebetulnya masih bisa ditoleransi jika perekonomian Indonesia dalam keadaan normal. Namun, dalam kondisi kontraksi ekonomi seperti saat ini, besar kemungkinan krisis atau pertumbuhan ekonomi secara negatif pada 2020 tidak bisa dihindarkan.

Penyebabnya, lanjut Shinta, ekonomi Indonesia masih dihantui risiko penurunan daya beli, penurunan kegiatan konsumsi nasional, penurunan produksi dan transaksi ekonomi lain (perdagangan dan investasi), stagnasi ekonomi, serta gejolak sosial.

“Dari semua elemen risiko ini, yang paling rentan terjadi dan paling sulit dipulihkan adalah risiko gejolak sosial karena sektor riil—baik di sisi produksi maupun konsumsi—tidak bisa berfungsi, apalagi distimulasi untuk rebound, tanpa stabilitas sosial,” jelasnya.

Sejatinya, Kementerian Keuangan telah memproyeksikan TPT pada tahun ini berada di kisaran 7,3 persen—9 persen, masing-masing dengan skenario berat dan skenario sangat berat.

Dengan proyeksi itu, menurut Shinta, pemerintah seharusnya masih memiliki ruang fiskal yang cukup guna mengintervensi daya beli masyarakat dan kondisi finansial pelaku usaha sektor riil agar pengangguran bisa ditekan semaksimal mungkin dan efek peningkatan pengangguran terhadap stabilitas pasar domestik bisa diminimalisasi.

Intervensi tersebut, sambungnya, bisa dilakukan dengan perluasan subsidi seperti kartu sembako, kartu prakerja, dan lainnya. Cara lainnya adalah dengan percepatan dan perluasan stimulus kredit kepada sektor riil dari yang sudah terjadi saat ini.

Menurutnya, jika intervensi tersebut tidak segera dieksekusi sehingga angka pengangguran makin sulit direm, perekonomian nasional dipastikan kesulitan pulih setelah pandemi Covid-19 usai.

“Di awal, dengan best case scenario  bahwa wabah terkendali pada kuartal II/2020, kami berharap sektor riil bisa melakukan normalisasi dan rebound di level domestik dalam 6 bulan pascapandemi, sehingga per 2021 kita bisa mengalami rebound yang lebih solid seiring dengan pemulihan ekonomi global. Namun yang jelas, makin tinggi tingkat penganggurannya, makin lambat dan makin sulit sektor riil nasional untuk rebound pascapandemi,” kata Shinta.

Pada perkembangan lain, Shinta berpendapat sejauh ini eksekusi stimulus pandemi Covid-19 belum maksimal dan masih banyak yang perlu dibenahi.

“Di sisi pelaku usaha, kami masih banyak mendengar keluhan terkait dengan kesulitan melakukan restrukturisasi kredit usaha, penjadwalan ulang kredit atau meminta pemangkasan beban bunga pinjaman meskipun sudah ada aturan untuk itu,” sebutnya.

Selain itu, dia menilai tidak ada suntikan dana atau modal (fresh capital) kepada sektor, padahal stimulus tersebut sangat mendesak bagi dunia usaha untuk bisa bertahan.

“Apalagi di negara lain seperti Jerman, suntikan dana langsung kepada pelaku usaha adalah bagian dari paket stimulus ekonomi pemerintah untuk mengatasi dampak negatif ekonomi di sektor riil sehingga jumlah usaha yang mati bisa ditekan bersamaan dengan tingkat PHK dan pengangguran.”

Di sisi konsumsi, Shinta menilai  ekseskusi bantuan sosial masih banyak yang salah sasaran dan skalanya kurang besar sehingga hanya berfungsi sebagai proteksi terhadap daya beli minimal masyarakat yang belum tentu dibutuhkan para penerima manfaat.

Selain itu, sambungnya, stimulus konsumsi yang sudah diterbitkan selama ini belum berfungsi sebagai penggerak konsumsi yang lebih tinggi untuk menekan kerusakan ekonomi yang tercipta sepanjang wabah.

SULIT DIPULIHKAN

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan Anton J. Supit juga berpendapat perekonomian Indonesia akan sangat sulit dipulihkan jika stimulus tidak difokuskan guna menekan pengangguran dan menyelamatkan geliat industri.

Sebagai perbandingan, dia mencontohkan China membutuhkan waktu penanganan pandemi selama 3 bulan. Selama itu pula, geliat industri dan perekonomian Negeri Panda menyusut hingga 35 persen. Untuk bisa mencapai 90 persen dari kondisi ekonomi sebelum pandemi, China butuh waktu 9 bulan.

“Artinya, pemerintah harus punya pemetaan yang jelas seperti itu. Pandemi mau diselesaikan kapan? Lalu, butuh berapa lama untuk recovery? Menurut saya, [progres pemulihan ekonomi] Indonesia tidak akan lebih baik dri China dan angka pengangguran tidak akan mencapai seperti sebelum pandemi.”

Senada dengan pandangan pelaku usaha, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar pun menilai penulihan ekonomi pascapandemi akan berjalan lambat seiring dengan prediksi tingginya angka pengangguran akibat wabah virus corona.

“Target TPT 4,8 persen—5 persen itu bisa dicapai dalam kondisi ekonomi normal. Namun, dengan adanya Covid-19 saat ini, maka saya mengkhawatirkan target TPT tsersebut tidak tercapai. Faktanya, PHK terus terjadi dan makin banyak pekerja dirumahkan tanpa upah, serta pekerja informal yang sulit bekerja karena dampak Covid-19.”

Menurutnya, salah satu cara untuk mengendalikan angka TPT agar pemulihan ekonomi bisa berjalan lebih cepat adalah dengan memberikan perluasan stimulus bagi industri, sehingga geliat ekonomi sektor riil bisa beroperasi lagi dan rekrutmen pekerja bisa kembali berjalan normal.  

“Stimulus terhadap industri harus segera dilaksanakan. Insentif fiskal harus terus dilanjutkan, dan pinjaman lunak untuk modal kerja harus segera direalisasikan sehingga roda produksi berlanjut lagi. Selain itu, program padat karya tunai di daerah juga harus dilaksanakan agar bisa merekrut pekerja. Proyek infrastruktur dilanjutkan agar ada perekrutan pekerja. Ini adalah upaya pemulihan dari sisi suplai,” kata Timboel.

Dari sisi permintaan, dia mendesak percepatan dan perluasan eksekusi bansos pada masa pandemi sehingga daya beli masyarakat terjaga agar produk barang dan jasa yang diproduksi industri bisa dikonsumsi.

 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Periode            Angkatan kerja (juta)  Bekerja (juta)  Pengangguran (juta)    TPT* ( persen)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Februari 2015  128,30                         120,85             7,45                             5,81    

Agustus 2015  122,38                         114,82             7,56                             6,18

Februari 2016  127,67                         120,65             7,02                             5,5

Agustus 2016  125,44                         118,41             7,03                             5,61

Februari 2017 131,55                          124,54             7,01                             5,33

Agustus 2017  128,06                         121,02             7,04                             5,50

Februari 2018  133,94                         127,07             6,87                             5,13

Agustus 2018  131,01                         124,01             7,00                             5,34

Februari 2019  136,18                         129,36             6,80                             5,01

Agustus 2019  133,56                         126,51             7,05                             5,28    

Februari 2020  137,91                         131,03             6,88                             4,99

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

*) Ket: TPT adalah tingkat pengangguran terbuka

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper