Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apindo Peringatkan Risiko Klaster Ketenagakerjaan Dikecualikan dari RUU Cipta Kerja

Apindo menilai, klaster ketenagakerjaan merupakan bagian penting dalam RUU Cipta Kerja, terutama untuk menghadapi dampak negatif dari pandemi corona di masa depan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani. Bisnis/Triawanda Tirta Aditya
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani. Bisnis/Triawanda Tirta Aditya

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia meminta agar penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan, tidak berarti membatalkan keikutsertaan tema tersebut dalam RUU Cipta Kerja. Pasalnya, terdapat sejumlah risiko yang dapat membayangi Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan pandemi corona yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan aksi merumahkan pekerja diperkirakan bisa terjadi hingga akhir tahun ini.

“Dengan demikian, kondisi ini semestinya memacu kita semua untuk membahas RUU Cipta Kerja termasuk klaster ketenagakerjaan secara lebih intensif. Mengingat pascapandemi diperlukan penciptaan lapangan kerja masif untuk menyerap korban PHK maupun tenaga kerja baru,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (27/4/2020).

Untuk itu dia meminta agar pemerintah dan DPR RI tidak membatalkan kehadiran klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.

Dia menyebutkan, terdapat sejumlah dampak yang dapat terjadi apabila klaster ketenagakerjaan tidak ikut serta dalam RUU Cipta Kerja.

Pertama, mengecilnya peluang Indonesia untuk menarik investasi padat karya dengan produksi masal dengan teknologi rendah seperti tekstil dan produk tekstil, sepatu, elektronik dan makanan serta minuman.

Terlebih, menurutnya, lapangan pekerjaan di sektor padat karya itu dibutuhkan oleh mayoritas tenaga kerja Indonesia di mana 57,5 persen di antaranya lulusan SD dan SMP, 30 persen lulusan SMA/SMK. Di sisi lain lapangan kerja padat karya dibutuhkan sebagai solusi mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi yaitu 7 juta orang,

Kedua, tanpa adanya klaster ketenagakerjaan di RUU Cipta kerja, maka Indonesia hanya akan didominasi oleh investasi dari sektor padat modal.

“Dapat dilihat dari data BKPM, bahwa selama beberapa tahun terakhir, investasi naik namun penciptaan tenaga kerja justru turun, di mana pada 2018 setiap Rp1 triliun investasi hanya menyerap 1.277 tenaga kerja,” ujar Hariyadi.

Jumlah itu menurutnya, jauh menurun dibandingkan dengan tahun 2013 di mana setiap Rp1 triliun investasi menyerap 4.594 tenaga kerja.

Ketiga, kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat yang makin melemah.

Hal ini dapat dilihat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial 2019, di mana penerima subsidi yaitu pelanggan listrik 98.6 juta orang atau 37.2 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta orang serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan 96.8 juta orang  atau 36.5 persen  dari jumlah penduduk RI.

“Bila hal ini dibiarkan terus maka Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi namun malah akan menghadapi beban demografi, karena rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal,” katanya.

Keempat, perusahaan sektor padat karya akan terus disibukkan dengan dispute ketenagakerjaan antara manajemen dengan pekerja dan pemerintah dalam menegosiasikan pengupahan, apabila klaster ketenagakerjaan dikecualikan dari RUU Cipta Kerja. 

Terlebih apabila tuntutan pengupahan dari pekerja melampaui kemampuan perusahaan untuk membayar. Demikian juga halnya dengan biaya pesangon yang tinggi mengakibatkan tingkat kepatuhan rendah yang menyebabkan dispute berkepanjangan yang menguras waktu dan perhatian untuk mengembangkan usaha.

Kelima, tanpa adanya klaster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja, maka Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan jenis-jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibiltas waktu kerja berbasis mingguan, harian bahkan per jam.

Dia pun mengingatkan bahwa Indonesia jangan sampai kehilangan momentum untuk menarik investasi industri manufaktur ke dalam negeri agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam.

“Kita harus cepat mengatasi ketetinggalan kita dengan negara tetangga. Sebab kita berpotensi terkejar oleh negara-negara Asean lainnya seperti Kamboja, Myanmar dan Laos,” jelasnya

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa terdapat potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar akibat wabah corona. Untuk itu, tanpa adanya klaster ketenagakerjaan, Indonesia bisa kesulitan untuk menarik investasi padat karya dan menyelamatkan nasib para pekerja yang terlanjur di-PHK saat wabah corona.

Silent majority dari kalangan para pencari kerja dan UMKM sudah saatnya mendapat prioritas perhatian pemerintah untuk mendapatkan akses pekerjaan. Para pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh diharapkan menunjukkan empatinya kepada mereka yang selama ini hanya menjadi penonton tanpa mampu menyuarakan kepentingannya,” ujar Hariyadi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper