"Penghasilan nol. Baru ngalami sekali ini dalam seumur hidup." Itu pengakuan pilu teman saya, yang sehari-hari menjalankan wirausaha mandiri. Untungnya, dia selalu mudah melihat dari perspektif lain. "Masih bersyukur, ndilalah ada cadangan jagan. Nek ora wes embuh..."
Kalau diterjemahkan secara bebas, ungkapan bahasa Jawa itu kira-kira begini: "Kebetulan masih ada cadangan yang bisa diandalkan. Kalau tidak nggak tahulah."
Ada pula kisah yang lain. Seorang profesional yang menjalankan bisnis kafe sebagai usaha sampingan, juga bernasib sama.
"Lima outlet Timbo Cafe sudah tutup. Tinggal satu yang belum ditutup. Karyawan tetap digaji penuh sampai lebaran. Setelah itu gak kebayang," ujar Herbert Timbo Siahaan, Pemimpin Redaksi JakTV, yang memiliki usaha sampingan Timbo Cafe sejak beberapa tahun terakhir.
Dia memberikan contoh salah satu outlet Timbo Cafe di Bandara Ahmad Yani Semarang, yang sebelum wabah Covid bisa memperoleh omzet hingga Rp12 juta per hari. "Sekarang (sebelum ditutup) hanya dapat Rp60 ribuan per hari karena tidak ada penumpang. Begitu juga di Bandara Soeta. Ancurrr," tutur Timbo.
Di luar sana, banyak kisah serupa lainnya lagi hari-hari ini. Padahal, sampai sebelum wabah Covid-19 kedengaran, seolah semuanya baik-baik saja.
Tak kedengaran gejala krisis keuangan perusahaan. Tak ada indikasi krisis likuiditas. Tak ada gelombang perusahaan bangkrut. Tak ada kasus bank run alias rush simpanan di bank-bank.
Kok, gara-gara wabah virus Corona, tiba-tiba perekonomian seluruh dunia jatuh?
Bahkan angkanya fantastis. Perekonomian China --negara yang terkena wabah Covid-19 pertamakali sejak Desember-- babak belur pada kuartal I/2020 ini: terkontraksi -6,8 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Lazimnya, awal Mei nanti Badan Pusat Statistik akan melaporkan kinerja ekonomi kuartal I/2020. Bisa jadi angkanya masih relatif aman, diperkirakan masih berada di kisaran 4 persen pada kuartal yang berakhir Maret lalu.
Namun, pada kuartal kedua bisa jadi akan bikin dag-dig dug. Pasalnya, dampak social distancing, stay at home dan aneka respons dalam menghindari penularan virus Covid-19 baru efektif sejak akhir Maret hingga pertengahan April.
Dan sepanjang tahun, ceritanya bisa jadi makin memilukan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan sudah memberi sinyal untuk menghadapi shock atas kinerja ekonomi tahun ini.
Ekonomi China menjadi ilustrasi yang relevan. Negara yang pernah mengukir pertumbuhan ekonomi 14 persen dua dekade silam, dan terakhir 6,5 persen tahun lalu, langsung terjun bebas dalam satu kuartal tahun ini. Hanya gara-gara virus Corona, biang wabah Covid-19.
Ini adalah preseden baru: krisis kesehatan yang men-trigger krisis ekonomi. Bahkan resesi. Di seluruh dunia.
Lihat saja data yang dilansir Dana Moneter Internasional atau IMF dalam laporan "The Great Lockdown" baru-baru ini. IMF meramal ekonomi global 2020 akan terkontraksi -3 persen. (lihat Grafis berikut)
China, yang cepat tuntas dalam mengatasi Covid-19, diperkirakan akan mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi menjadi tinggal 1,2% di akhir tahun ini.
Sebaliknya, negara-negara maju yang kebanyakan berada di belahan bumi utara ekuator, lebih menderita. Pertumbuhan ekonomi mereka tahun ini diramal -6,1 persen, lantaran kasus Covid-19 terlambat ditangani.
Di antara mereka, yang paling menderita adalah Italia dan Spanyol. Perekonomian kedua negara itu diprediksikan anjlok masing-masing -9,1 persen dan -8,0 persen tahun ini.
Anda tentu tahu, Italia dan Spanyol adalah dua negara paling terpuruk dalam wabah Covid-19. Merujuk data Worldometer sampai tadi malam, kasus positif Covid-19 di Italia mencapai 187.327 dengan 25.085 tewas. Sedangkan di Spanyol, kasus positif mencapai 213.024 dan 22.157 tewas.
Amerika lebih beruntung. Kendati jumlah kasus positif dan tewas jauh lebih besar, pertumbuhan ekonomi AS tidak seburuk Italia dan Spanyol.
Perekonomian Amerika diprediksikan hanya terkoreksi -5,9 persen tahun ini, di bawah Jepang yang hanya terkoreksi -5,2 persen. Jepang adalah negara maju dengan koreksi paling rendah akibat Covid-19.
Amerika tidak lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara Eropa, besar kemungkinan karena rasio mortalitas dan kasus Covid terhadap jumlah penduduk relatif lebih baik.
Kasus positif Covid-19 di AS telah mencapai 849.092 dengan 47.681 tewas, jauh lebih banyak dibandingkan dengan Italia dan Spanyol. Namun jika ditilik rasionya terhadap jumlah penduduk, kasus di AS jauh lebih "ringan" dibandingkan Italia dan Spanyol.
Rasio kasus AS, Italia dan Spanyol masing-masing adalah 2.565; 3.098, dan 4.556 per 1 juta penduduk. Sedangkan rasio kematian di tiga negara itu masing-masing 144; 415 dan 474 per 1 juta penduduk. Jepang lebih baik lagi, dengan rasio kasus positif Covid-19 dan kematian masing-masing hanya 94 dan 2 per 1 juta penduduk.
Bagi Indonesia, tentu bukan perkara mudah. Tahun ini diperkirakan dalam golden scenario, ekonomi Indonesia akan melambat di kisaran 2,3 persen.
Namun, dalam skenario terburuk, pertumbuhan ekonomi akan mungkin terkontraksi -0,5 persen. Itu pula yang menjadi skenario ramalan IMF untuk tahun ini. Artinya, hanya gara-gara Corona, seluruh perkonomian dunia terjun bebas.
Kabar baiknya, untuk tahun berikutnya, bila wabah Covid benar-benar tuntas tahun ini, ada harapan ekonomi dunia pulih cepat. IMF meramal China bakal tumbuh 9,2% pada 2021. Dan Indonesia, agak ajaib, diramal bakal tumbuh 8,3%. Tentu, asalkan program stimulusnya efektif dan nendang.
***
Maafkan kalau tulisan ini dijejali angka-angka yang bikin pening kepala. Namun lihatlah realita besarnya: banyak perusahaan yang kolap gara-gara Corona. Mulai dari berhenti operasi hingga benar-benar bangkrut.
Padahal, virus itu baru menghajar dunia sekira satu kuartal. Baru tiga bulan!
Korbannya mulai dari industri airline, perhotelan, ritel, otomotif, entertainmen, konsumsi, media dan masih panjang lagi daftar lainnya.
Industri airlines mendapat pukulan paling telak, setelah penerbangan domestik dan internasional ter-lockdown oleh virus Corona. Garuda Indonesia, sekadar contoh, telah memotong gaji karyawan mulai level staf hingga Direksi. Besarannya bervariasi dari 10% hingga 50%.
Kondisi akan kian berat, apalagi setelah maskapai dilarang terbang mulai 24 April hingga 1 Juni, buntut dari larangan mudik dari Presiden Jokowi.
Lalu jauh di Amerika sana, penjualan ritel anjlok 8,7 persen pada Maret. Wabah Covid-19 memaksa ribuan penjual menutup aktivitas perdagangan mereka. Ini adalah rekor penurunan terbesar sejak tahun 1992.
Banyak pabrik di seluruh dunia juga stop jalur produksi. Di AS, dilaporkan output pabrik mengalami penurunan terbesar sejak perang dunia kedua, terutama terparah di wilayah New York.
Klaim tunjangan pengangguran di AS bahkan terus melesat naik, sehingga mencapai 26 juta orang selama lima minggu terakhir. Ini berarti, rekor pekerjaan baru sebanyak 22 juta yang tercipta sejak 2010 terhapus hanya dalam waktu sebulan gara-gara Corona.
Di Jepang, sejumlah perusahaan otomotif mencari pinjaman miliaran dolar sebagai antisipasi dampak terburuk Covid-19. Di Eropa, sejumlah perusahaan otomotif juga kelabakan karena kehilangan pasar.
Di Indonesia, kisah pilu dunia usaha mulai terdengar di mana-mana. Di industri perhotelan, menurut asosiasi perhotelan, tercatat lebih dari 800 hotel terpaksa berhenti beroperasi karena kehilangan tamu.
Beberapa pengusaha juga menyatakan hanya kuat bertahan sampai bulan Juni, apabila wabah Covid-19 berlanjut.
Jelas, virus Corona mendatangkan malapetaka. Perusahaan yang berhenti operasi, mau tidak mau merumahkan karyawan bahkan melakukan PHK.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga pertengahan April ini setidaknya hampir 2 juta tenaga kerja terkena PHK dan atau dirumahkan. Mayoritas dari mereka adalah karyawan yang dirumahkan tanpa digaji.
Angka itu berasal dari 114.340 perusahaan, yang bergerak di sektor usaha formal maupun informal.
Bahkan, Menkeu Sri Mulyani Indrawati memperkirakan, jika skenario terburuk terjadi --di mana ekonomi bisa terkontraksi -0,5 persen-- akan menambah 5,2 juta pengangguran baru di Indonesia.
***
Kenapa ekonomi tiba-tiba berhenti? Karena orang takut kena virus. Orang takut mati.
Ekonomi dunia memang lumpuh, sejak banyak negara meng-karantina kota atau bahkan negaranya. Sejak pergerakan manusia dibatasi.
Ekonomi mati saat ini lantaran orang diam di rumah, sehingga nggak ada aktivitas transaksi. Orang takut keluar rumah, karena khawatir tertular Covid-19. Apalagi, tiga hal ini sudah jadi seruan sejak Maret lalu: Ibadah di rumah, belajar di rumah dan kerja di rumah.
Lantas apa yang mesti kita lakukan dalam mengatasi aneka dampak dari Covid-19 ini?
Stop penularan virusnya, bantu kebutuhan dasar manusia yang terkena dampaknya, baru bicara ekonomi.
Apapun caranya, yang penting jangan kasih akses bagi virus ini masih bisa bergerak leluasa. Begitu wabah ini berhenti, barulah kita sama-sama mikirin jalannya ekonomi.
Percuma menggelontorkan stimulus ekonomi kalau virus Covid-19 masih bergentayangan. Suntikan darah tidak akan banyak manfaatnya, karena ekonomi sakit bukan lantaran kekurangan darah. Bukan karena krisis likuiditas, seperti saat krisis ekonomi 1998.
Apalagi kalau stimulusnya cekak, hanya Rp405 triliun. Alokasi stimulus itu hanya setara dengan US$27 miliar. Bandingkan dengan Malaysia, dengan jumlah penduduk yang hanya 31 juta, negeri itu menggelontorkan stimulus ekonomi senilai US$89 miliar.
Artinya, dengan penduduk 260 juta, stimulus US$100 miliar saja untuk mengatasi Covid-19 di Indonesia masih sangat moderat.
Bila benar-benar ingin menstimulasi ekonomi, atau menghentikan gelombang PHK dan memberi makan bagi yang kehilangan penghasilan, pemerintah semestinya lebih all out. Seperti cara Singapura, menyuntik subsidi upah untuk perusahaan dengan syarat tidak boleh PHK.
Tentu, golden effort itu butuh dana besar. Meminjam hitungan Ketua Kadin Rosan Roslani, stimulus ideal untuk ekonomi Indonesia adalah Rp1.600 triliun. Jumlah itu terdiri dari kebutuhan bantuan sosial Rp600 triliun, stimulus perbankan Rp600 triliun, dan program kesehatan Rp400 triliun.
Dananya dari mana? Pemerintah, tentu, tahu caranya.
Namun yang terpenting saat ini: Kita prioritaskan dulu kebutuhan dasar manusianya.
Kasih makan warga yang gajinya terhenti karena perusahaan berhenti operasi. Yang kerjaannya di cafe tutup sementara. Yang tinggal di rumah karena mal tempat kerjanya tutup. Atau tukang warung yang gulung tikar karena makanannya nggak ada yang beli. Pokoknya, kasih makan bagi yang kehilangan pekerjaan akibat wabah Covid ini.
Jangan buat orang terpaksa jalan karena cari uang buat makan. Lagipula, kalau jalan penularan diberi keleluasaan, wabah nggak akan segera berhenti.
Fokus saja: hentikan wabah. Nggak perlu pusing dulu dengan pertumbuhan ekonomi. Percayalah, ekonomi akan bangkit lagi. Nanti. Kalau wabah Covid sudah selesai.
Maka yang terpenting, mari sama-sama menghentikan siklus peredaran virus Covid-19 ini. Kita semua perlu bekerjasama untuk mengatasi wabah ini. Biar tidak semakin luas menyebar. Karena itu berarti masa tunggu normalnya akan kian lama lagi. Dan akan sangat mahal ongkosnya bagi ekonomi.
Nah, bagaimana menurut Anda?