Bisnis.com, JAKARTA - Tidak ada negara yang selamat dari imbas negatif pandemi virus Corona. Demikian pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi terkini seraya menyebut dampak kemerosotan perekonomian saat ini dengan istilah Great Lockdown sebagai peristiwa yang terburuk sejak Great Depression.
Menurut IMF dalam World Economic Outlook (WEO) yang dirilis 14 April 2020, imbas negatif merebaknya virus Corona telah mengubah perekonomian dunia secara dramatis. Perubahan signifikan itu tampak bila dibandingkan dengan WEO pada Januari lalu. Hanya dalam waktu 3 bulan sejak WEO Januari, pandemi virus Corona telah mengakibatkan banyak korban jiwa sehingga seluruh negara memilih langkah perlawanan mulai dari menjaga jarak sosial, karantina hingga lockdown.
Great Depression atau Depresi Hebat adalah situasi ekonomi dunia yang menurun tajam di sebagian perekonomian utama dengan waktu bervariasi selama 1930-an yang dimulai di Amerika Serikat. Di Negari Paman Sam pada September-Oktober 1929 terjadi penurunan besar harga saham yang dikenal sebagai Black Tuesday. Antara tahun 1929 dan 1932, produk domestik bruto (PDB) di seluruh dunia susut sekitar 15%. Bila dibandingkan dengan Krisis Eropa 2008-2009, PDB dunia turun kurang dari 1%.
Great Lockdown
Adapun istilah Great Lockdown terkait dengan berkurangnya aktivitas bisnis sejalan dengan meluasnya pandemi virus Corona sehingga perekonomian dunia ikut tergerus. Usaha produktif yang menurun itu terjadi sehingga pemerintah di seluruh negara berupaya memberikan dukungan langsung kepada rumah tangga, perusahaan, dan pasar keuangan.
Meski demikian, tetap saja ganasnya wabah ini di luar dugaan siapapun. Ketidaksiapan dalam menghadapi kondisi darurat itu membuat banyak negara kini rentan pada risiko krisis berbagai dimensi yang dimulai dari krisis kesehatan hingga krisis keuangan.
Karena itu, semua negara kini berjibaku melawan dampak negatif penyebaran virus Corona dengan merogoh kocek lebih dalam untuk meningkatkan kapasitas layanan kesehatan dan mengambil langkah-langkah fiskal di luar perkiraan dalam bentuk subsidi dan paket stimulus. Beberapa kebijakan itu meliputi pengurangan beragam jenis pajak, jaring pengaman sosial, hingga insentif di sektor keuangan yaitu upaya restrukturisasi kredit dunia usaha.
Ekonomi Dunia
Dengan asumsi penanganan pandemi dan dukungan pemerintah yang akan memuncak pada kuartal II/2020 di sebagian besar negara di dunia, IMF kemudian memperkirakan perekonomian juga akan susut pada paruh kedua tahun ini. Dalam WEO versi April, IMF memproyeksikan pertumbuhan global pada tahun 2020 akan turun menjadi -3%.
Secara nilai, IMF memperkirakan kerugian kumulatif terhadap PDB global selama tahun 2020 dan 2021 akibat krisis Corona ini bisa mencapai US$9 triliun atau lebih besar dari gabungan nilai perekonomian Jepang dan Jerman. Sebagai perbandingan, pada Januari lalu IMF memperkirakan pertumbuhan PDB global sebesar 3,3% untuk 2020, selanjutnya pada tahun berikut proyeksi pertumbuhan dapat mencapai 3,4%.
Melihat angka pertumbuhan yang menciut itu, negara-negara maju seakan tak berdaya menghadapi pandemi Corona, begitu pula dengan emerging countries. Kendati ekonomi negara maju umumnya dalam posisi yang lebih baik dalam merespons krisis, laju PDB diprediksi bakal menyusut lebih dalam bila dibandingkan dengan krisis keuangan 2008.
IMF memperkirakan perekonomian AS tahun ini akan menyusut 5,91%, sementara 19 negara Uni Eropa yang berbagi mata uang Euro berkontraksi 7,5%. Wilayah Eropa secara keseluruhan pada tahun ini diprediksikan memiliki kinerja buruk di wilayah mana pun. Begitu pula yang terjadi di banyak pasar negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah. Mereka harus berjuang dalam menghadapi tantangan yang signifikan.
Perkiraan IMF ini sejalan dengan proyeksi Bank Dunia yang menegaskan pandemi virus Corona akan membawa perlambatan pertumbuhan di negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik serta China. Dalam update Bank Dunia sebelumnya, lembaga multilateral itu mengingatkan adanya situasi yang berubah dengan cepat.
Baseline pertumbuhan di negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan melambat menjadi 2,1% pada tahun 2020. Adapun skenario lebih rendah bisa mencapai -0,5% PDB atau jauh dengan laju ekonomi yang tercatat pada 2019 sebesar 5,8%. Untuk China, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan 2,3% dalam skenario baseline, atau dengan skenario lebih rendah yaitu 0,1%, dibandingkan dengan pertumbuhan 6,1% pada 2019.
Dengan penurunan permintaan global, tak ayal negara-negara yang mengandalkan kekuatan dari konsumsi masyarakat dan investasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi jelas terpukul. Negara-negara yang bergantung pada sektor pariwisata, perjalanan, dan hospitality mengalami gangguan signifikan. Di samping itu, negara-negara tersebut sangat terpengaruh oleh aliran modal keluar.
Tekanan kian berat juga datang dari penurunan nilai tukar yang tentu saja membawa biaya lebih besar akibat cukup tingginya ketergantungan pada impor. Situasi ini tampak dari indikator nilai tukar riil efektif untuk melihat nilai mata uang masing-masing negara secara relatif terhadap mata uang utama lainnya dalam indeks.
Harga Komoditas
Selain itu, penurunan tajam dari harga komoditas turut memberi tekanan nyata kepada negara-negara OPEC dan negara-negara non-OPEC lain. Dari pertengahan Januari 2020 hingga akhir Maret 2020, harga logam dasar telah turun 15%, harga gas alam anjlok 38%, dan minyak mentah harga minyak terjun bebas 65% (dengan penurunan sekitar US$ 40 per barel). Kondisi harga komoditas yang tertekan ini masih berlanjut memasuki bulan April 2020.
Harga minyak mentah hingga akhir pekan lalu hanya mampu bertengger di level US$28 per barel atau kian mendekati biaya produksi di kisaran US$20-an barel. Tentu penurunan ini akan memiliki dampak ikutan seperti terhadap penerimaan migas dan non-migas yang terkait, semisal penerimaan negara bukan pajak Indonesia yang sudah terdiskon lebih dari 28%. Asumsi dasar APBN 2020 sebelumnya diperkirakan US$63 barel.
Ekonomi Indonesia
Untuk Indonesia, pelemahan nilai tukar ini disebabkan oleh arus modal asing keluar selama masa tanggap darurat virus Corona. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada 1-19 Januari 2020 tercatat aliran modal masuk sebesar Rp22,9 triliun. Namun sejak virus Corona mampir ke Tanah Air, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Tidak lagi aliran modal masuk, tetapi malah yang terjadi adalah aliran modal keluar sebesar Rp171,6 triliun pada periode 20 Januari-1 April 2020. Sebagian besar modal asing yang keluar itu berasal dari surat berharga dan bursa saham.
Pada sisi pertumbuhan ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memperhitungkan laju PDB tahun ini bisa berada di kisaran 2,5% hingga 0%. Bahkan dengan skenario lebih buruk, bukan tidak mungkin berada di angka -0,4%. Sedangkan IMF dalam revisi proyeksi teranyar memperkirakan laju perekonomian Indonesia tahun ini bisa berada di posisi 0,5%.
Berakhir Juni?
Dari laporan lembaga multilateral tersebut, ada kabar baik yang cukup menghibur dengan skenario perekonomian dunia yang dapat rebound cepat pada 2021. Tidak tanggung-tanggung, IMF misalnya dalam proyeksinya memasang angka laju PDB global tahun depan dapat menyentuh 5,8%.
Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2021 diperkiraan mencapai 8,2%. Sebuah angka yang cukup fantastis karena berdasarkan catatan Bisnis Indonesia Resources Center, pertumbuhan ekonomi Merah Putih belum pernah melampaui 7% sejak krisis moneter tahun 1997 hingga saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang pernah beberapa kali melampuai di atas angka 7%, bahkan di atas 10% tetapi itu hanya terjadi pada zaman Orde Baru dalam alam politik yang berbeda atau dapat dikatakan minim demokrasi.
Akan tetapi, proyeksi IMF--yang boleh jadi ingin membesarkan hati negara-negara korban virus Corona ini--menetapkan asumsi pandemi memudar pada paruh kedua tahun 2020. Catatan lainnya, kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengatasi imbas Corona berjalan efektif di seluruh dunia. Efektif yang dimaksud secara spesifik yaitu mampu mencegah kebangkrutan perusahaan, dapat mengatasi kehilangan lapangan kerja, dan bisa mengatasi tekanan yang terjadi pada sistem keuangan.
Pemerintah Indonesia memperkirakan pandemi virus Corona di Indonesia akan selesai di akhir tahun ini. Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas mitigasi dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif mengatakan perekonomian akan berangsur pulih 2021, di mana sektor pariwisata bakal kembali booming. Bangkitnya sektor ini dilandasi keyakinan bahwa wisatawan saat ini memiliki keinginan besar untuk berlibur setelah lama mengarantina diri di rumah.
Siapkan Skenario Lain
Bagaimanapun apa yang disampaikan lembaga multilateral tersebut baru sebatas outlook. Dapat dijadikan gambaran, tetapi masih riskan untuk dipakai sebagai pegangan mengingat masihnya tinggi risiko ketidakpastian.
Betapa tidak. Data penyebaran virus Corona nyatanya belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti bahkan terus bertambah. Bila pada 3 April 2020 jumlah orang yang terinfeksi virus Corona di seluruh dunia menyentuh angka 1 juta orang, hanya dalam waktu dua pekan saja angka itu mampu terlipatgandakan melebihi 2 juta orang pada 16 April 2020. Dan jumlah orang ternfeksi hingga 20 April ini bahkan mulai melampaui angka 2,4 juta orang yang telah membawa kematian lebih dari 165.000 orang. Suatu angka yang eksponensial.
Mengingat hal tersebut, boleh jadi pandemik belum akan surut pada paruh kedua tahun ini dan mengarah ke jangka waktu lebih lama. Alhasil, bersiap diri dengan skenario terburuk dalam kondisi saat ini akan lebih baik sambil berupaya dan berharap penyebaran virus ini segera berhenti.
TIM RISET BISNIS INDONESIA
Bisnis Indonesia Resources Center