Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan Produksi Beras: Impor Jadi Solusi yang Berisiko

Di tengah potensi penurunan produksi beras nasional, langkah antisipatif dengan melakukan impor beras dinilai cukup berisiko.
Buruh mengangkut karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (12/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Buruh mengangkut karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (12/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai pemenuhan kebutuhan beras melalui pengadaan luar negeri akan sangat berisiko di tengah situasi pandemi meski produksi di dalam negeri terancam bayang-bayang penurunan produksi.

Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengemukakan logistik perdagangan yang terganggu kemungkinan bakal mengakibatkan biaya logistik menjadi semakin mahal. Dengan nilai rupiah yang masih tertekan, Enny menyatakan harga beras impor pun berpotensi terkerek.

"Artinya, sekalipun kita bisa impor, daya beli masyarakat belum tentu bisa menjangkaunya. Apalagi di tengah kondisi saat ini ketika daya beli masyarakat menurun," kata Enny kepada Bisnis, Sabtu (18/4/2020).

Enny tak memungkiri jika produksi beras tahun ini berpeluang turun dibandingkan tahun lalu sebagaimana proyeksi Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS). Gangguan iklim dan serangan hama disebutnya membuat petani harus mengulang proses penanaman.

"Memang dengan kemarau panjang kemarin tentunya ada pergeseran masa tanam. Lalu ada hama sehingga petani tidak cukup hanya tanam sekali, kalau begitu tanamya bisa mundur setengah sampai satu bulan. Kalau begini produktivitas selama setahun akan terpengaruh," paparnya.

Dalam situasi ketika Indonesia tak bisa mengandalkan pasokan impor, Enny mengatakan perlu ada skema khusus yang menjamin produksi dalam negeri terjaga. Dia mengatakan hal ini bisa tercapai dengan tetap menjaga daya beli masyarakat miskin dan korban pemutusan hubungan kerja sehingga hasil pertanian seperti beras tetap diserap masyarakat.

"Justru sekarang ada dua hal yang bisa dioptimalisasi, bagaimana menjaga konsumsi masyarakat miskin dan rentan miskin, serta menjaga konsumsi korban PHK. Jika konsumsi terjaga, kegiatan produksi akan tetap berjalan," lanjutnya.

Dia pun mengkritisi nihilnya stimulus khusus sektor pertanian yang digelontorkan pemerintah. Menurutnya, sektor pertanian merupakan segelintir dari penggerak ekonomi yang harus terjamin operasionalnya di tengah pandemi karena berkaitan erat dengan pemenuhan pangan masyarakat.

Dari total Rp405,1 triliun yang disiapan pemerintah untuk penanggulangan Covid-19, sekitar Rp75 triliun diarahkan untuk kesehatan, tambahan jaring pengaman sosial sebesar Rp110 triliun, dukungan bagi industri Rp70,1 triliun dan program pemulihan ekonomi sebanyak Rp150 triliun.

"Potensi penurunan produksi dan gangguan impor seharusnya sudah menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk melihat urgensi stimulus untuk pertanian," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Agung Hendriadi mengemukakan bahwa pihak Kementerian Pertanian telah mengusulkan stimulus khusus pertanian. Adapun sejauh ini, pihaknya telah menyiapkan subsidi distribusi pangan dari daerah yang surplus ke daerah yang defisit agar ketersediaan pangan merata.

"Kami siapkan dana pengiriman di masing-masing eselon I sesuai komoditasnya. Tapi sifatnya bantuan," kata Agung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper