Bisnis.com, JAKARTA - Untuk menjaga ketahanan fiskal dan menjaga stabilitas perekonomian di tengah Covid-19, pemerintah perlu menjaga defisit anggaran setinggi-tingginya agar kebutuhan bisa terpenuhi.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan situasi fiskal pemerintah saat ini sedang dalam posisi terjepit. Penerimaan pajak terus tergerus akibat banyaknya stimulus dan penurunan aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja terus bertambah.
"Cara paling baik dari Kemenkeu adalah menjaga ketahanan fiskal dengan menjaga defisit fiskal setinggi mungkin," kata Tauhid, Kamis (16/4/2020).
Menurutnya, defisit fiskal pada APBN 2020 yang direvisi mencapai hingga Rp852,9 triliun atau 5,07 persen dari PDB masih berpotensi untuk ditingkatkan. Pasalnya, tidak ada yang sepenuhnya tahu kapan pandemi Covid-19 bakal berakhir.
Tambahan anggaran sebesar Rp405,1 triliun dinilai masih kurang tepat sasaran karena proporsinya masih timpang.
Tauhid berargumen bahwa pemerintah seharusnya menambahkan jumlah anggaran jaring pengaman sosial atau social safety net. Hal ini tidak terlepas dari peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang lebih dari 50%.
Baca Juga
"Untuk menggerakkan perekonomian di bawah kan konsumsi, oleh karenya seharusnya mayoritas untuk social safety net, bukan pengamanan ekonominya," kata Tauhid.
Untuk diketahui dari Rp405,1 triliun tambahan anggaran, hanya Rp110 triliun yang dianggarkan untuk social safety net, sedangkan mayoritas sebesar Rp220,1 triliun dianggarkan untuk dukungan industri dan dunia usaha baik dari sisi belanja maupun pembiayaan. "Proporsinya tidak tepat," kata Tauhid.
Lebih lanjut, pemerintah juga dinilai tidak memiliki langkah antisipatif dari sisi anggaran apabila wabah Covid-19 berlanjut lebih lama dari yang diperkirakan.
Oleh karenanya, pelebaran defisit anggaran dengan memanfaatkan segala sumber pembiayaan merupakan satu-satunya cara bagi pemerintah untuk memenuhi setumpuk kebutuhan ini. "Pemerintah tidak punya pilihan," kata Tauhid.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan kebutuhan pembiayaan berpotensi melebar apabila Covid-19 terus berlanjut lebih lama dari yang diperkirakan. Di satu sisi, ruang fiskal pemerintah juga cenderung terbatas akibat anjloknya penerimaan pajak tahun ini.
Menurut Faisal, pemerintah perlu memperbanyak memenuhi pembiayaan dari sumber-sumber dalam negeri, bukan dari luar negeri seperti dengan menerbitkan global bond bertenor 50 tahun yang baru saha diterbitkan. "Dengan ini, maka risiko bisa ditekan," kata Faisal, Kamis (16/4/2020).
Risiko pembiayaan bisa semakin ditekan apabila Bank Indonesia (BI) bisa langsung masuk ke pasar primer dan membeli SBN yang diterbitkan oleh pemerintah. Menurut Faisal, langkah ini merupakan sumber pembiayaan dengan risiko yang paling minimal.
Faisal juga mengingatkan adanya risiko crowding out dan peningkatan utang luar negeri (ULN) swasta apabila BI tidak segera membeli SBN langsung dari pasar primer.
Pelebaran defisit anggaran, meski dibutuhkan, bakal menyerap banyak likuiditas dari perbankan. Hal ini akan membuat swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.
Akhirnya, swasta terpaksa mengambil opsi ULN dan hal ini sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. "Kemampuan market kita untuk memenuhi pembiayaan terbatas karena likuiditas dalam negeri lemah," kata Faisal.