Bisnis.com, JAKARTA - Perhutanan sosial diyakini bisa mendulang keuntungan banyak secara finansial bagi negara jika dikelola dengan transparan dan kreatif.
Sekretaris Eksekutif Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Andri Santosa menjelaskan guna mengoptimalisasi capaian perhutanan sosial 5 tahun terakhir, pemerintah perlu melakukan sejumlah perubahan perspektif bisnis kehutanan untuk mengoptimalisasi potensi perhutanan sosial.
Dia mencontohkan masyarakat desa yang harus didampingi untuk mengubah paradigma bisnis kehutanan tak terbatas pada bisnis kayu saja. Hal ini mengingat bisnis kayu memakan waktu paling cepat 6 tahun untuk beberapa jenis komoditas kayu seperti sengon. Alhasil perlu variasi jenis tanaman lain seperti kopi, atau bentuk bisnis lain seperti ekowisata.
“Potensinya bisa dilihat misalnya di Kalibiru. Itu ekowisata mencapai Rp5,4 miliar dalam setahun, harga kopi juga melambung dulu hanya Rp6.000 sekarang mungkin Rp50.000. Kopi juga bisa dikembangkan di desa sendiri, ada kafe langsung di lokasi, jadi lengkap hulu ke hilir,” tutur Andri kepada Bisnis, beberapa waktu yang lalu saat ditemui di Institut Pertanian Bogor.
Selain perubahan rencana bisnis, pemerintah perlu mengubah status program dengan landasan hukum lebih kuat. Andri menggarisbawahi, perhutanan sosial memiliki kekuatan yuridis yang terbatas hanya pada peraturan menteri dan perpres yakni Perpres Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang tak khusus mengakomodasi perhutanan sosial.
Alhasil landasan hukum ini ini tidak bisa mengaitkan instansi lain di luar KLHK dan Kementerian ATR dan BPN mengoptimalisasi program tersebut. Dia menilai jika ada kerjasama lintas instansi yang kuat, sumber pembiayaan perhutanan sosial tidak akan terbatas pada perbankan yakni Bank Pesona. Sumber pembiayaan lain yang ada misalnya dengan memanfaatkan dana desa.
Baca Juga
Indikator lain yang juga penting menjadi perhatian pemerintah adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) untuk pendampingan masyarakat dalam pengelolaan. Andri menyoroti minimnya jumlah SDM yang berkualitas untuk pendampingan masyarakat.
Buktinya, dari sekitar 6.411 unit SK izin atau hak untuk sekitar 818.547 Kepala Keluarga dan 5.873 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) hanya tersedia sekitar 1000 pendamping di seluruh Indonesia.
Selain itu kapasitas pendamping juga tak melulu bagus. Hal ini diduga akibat proses pelatihan untuk calon pendamping berlangsung hanya sebentar yakni 3 hari, sementara pendamping yang ditugaskan KLHK belum tentu memiliki perspektif yang selaras dengan masyarakat lokal. Alhasil pendekatan yang dilakukan pendamping tidak optimal. Andri pun mengusulkan pentingnya perekrutan pendamping berasal dari perwakilan masyarakat setempat.
“Selain pendampingan dan pembiayaan, ke depan skema perhutanan sosial juga perlu disederhanakan. Masyarakat sulit mengklasifikasi jika terlalu banyak skema,” terang Andri.
Dari sisi historis Andri menjelaskan, hutan berbasis masyarakat sudah ada sebelum konsep Perhutanan Sosial dari program kerja Presiden Joko Widodo lahir pada 2015 lalu.
Dia menceritakan, pengelolaan hutan rakyat sudah ada sejak Kongres Kehutanan Dunia pada 1978 silam dengan tema ‘Forest for People.’ Pemerintah lalu mengeluarkan Pedoman Hutan Kemasyarakatan melalui Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999 yang menegaskan hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Aturan ini juga menyatakan kategori hutan adat masih dalam bagian hutan negara, sampai pada 2012 sejumlah pemuka adat mengklaim hutan adat bukan hutan negara ke Mahkamah Konstitusi.
"Gugatan itu lolos dan membuat status hutan adat keluar sebagai bagian hutan negara dan menjadi hutan hak," ujar Andri.
Adapun syarat perubahan status lahan menjadi hutan adat harus mengantongi pengakuan dan sertifikasi dari pemerintah daerah setempat.
Sepanjang 2015 sampai 2019 target ambisius pemerintah adalah memberikan 12,7 juta hektare untuk perhutanan sosial. Pemerintah juga membuat Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) sebagai acuan dalam penentuan lokasi dan calon lokasi Perhutanan Sosial.
Hingga akhir 2019, telah terindentifikasi sekitar 13,84 juta hektar areal hutan dalam PIAPS, potensi yang sudah melebihi target 12,7 juta hektar. Sayangnya, peta indikasi tidak termasuk dalam target yang sudah terdistribusikan. Ahasil, yang tercapai hanya sekitar 3,13 juta hektare.
Dia mengakui ada sejumlah kendala yang dihadapi dalam mendistribusikan akses hutan ke masyarakat, khususnya hutan adat akibat sulitnya sertifikasi dari pemerintah daerah.
“Jadi secara umum, semua yang dicapai pemerintah sudah optimal dengan dukungan stakeholder dari sisi pembiayaan dan pendampingan, artinya 5 tahun ke depan tinggal peningkatan kualitas saja,” tuturnya.