Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memperkirakan setoran dividen dari perusahaan pelat merah pada tahun ini tidak akan mencapai target akibat penyebaran virus corona atau Covid-19
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan dalam kondisi pandemi yang melumpuhkan aktivitas perekonomian, target dividen 2020 dapat dipastikan meleset. Bahkan, dia memperkirakan target dividen pada tahun depan juga masih akan sulit dicapai.
“Kondisi hari ini untuk dividen 2020 kemungkin kami meleset. Pada 2021 juga pastinya jauh sekali karena sudah lihat dampak-dampaknya di banyak BUMN. Kami harapkan 2022 [dividen] bisa kembali stabil,” jelasnya di sela-sela RDP dengan Komisi VI DPR RI melalui konferensi video, Jumat (3/4/2020)
Pada 2020 Kementerian BUMN menargetkan setoran dividen mencapai Rp49 triliun. Target ini telah mengalami kenaikan dari angka awal yang termaktub dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Adapun, pada tahun lalu setoran dividen BUMN mencapai Rp30,23 triliun.
Erick juga memaparkan bahwa di tengah pandemi virus corona, sejumlah perusahaan BUMN sudah mulai mengalami penurunan kinerja. Dia mencontohkan, di sektor perbankan, terpantau sudah mulai terjadi kenaikan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).
Selain itu, perusahaan seperti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero) memiliki eksposur valuta asing akan terganggu. Menurutnya, hal ini akan menyebabkan arus kas BUMN terganggu.
“Cashflow Pertamina, PLN, akan terganggu karena kurs rupiah. PLN ada obligasi Rp350 triliun, sebagian besarnya dalam dolar. Pertamina impornya dalam dolar, sementara jual dalam rupiah, kami akan rapat dengan direksi untuk pastikan cashflow tidak terganggu signifikan,” jelasnya.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa saat penyebaran pandemi Covid-19 juta kian berdampak terhadap sektor pariwisata. BUMN di sektor bandara, pelabuhan, kapal feri, dan penerbangan akan terkena dampak yang cukup besar.
PT Garuda Indonesia (Persero) menjadi salah satu perusahaan BUMN yang mendapat sorotan paling besar di tengah kondisi ini. Erick mengatakan perseroan memiliki utang obligasi dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat, sementara perseroan menghadapi kondisi bisnis berat di tengah terpukulnya industri penerbangan.
Perusahaan BUMN lainnya, yakni Perum Bulog juga disebutkan akan terdampak pada tahun ini. Hal ini disebabkan oleh tekanan utang jangka pendek karena keterbatasan kas dan penumpukan persediaan.
Di sisi lain, BUMN karya juga dinilai akan terkena imbas virus corona. Menurutnya, risiko juga tambah besar karena BUMN karya banyak mengandalkan pembiayaan dari bank pelat merah. Sebagai solusinya, pemerintah akan memindahkan sumber pendanaan BUMN karya ke alternatif lain di luar bank Himbara.
Erick menyatakan berdasarkan pemetaan saat ini, hanya 9,1 persen dari seluruh perusahaan BUMN yang ada berada dalam kategori dipertahankan dan dikembangkan. BUMN dalam kategori sehat seperti ini dinilai memiliki pangsa pasar besar.
Adapun, 6,3 persen harus melakukan transformasi karena memiliki pangsa pasar yang baik, namun kinerjanya belum optimal. Sementara itu, 68 persen atau mayoritas BUMN saat ini adalah BUMN yang masuk kategori mesti konsolidasi untuk memperkuat pasar.
Selain itu, ada pula 8,2 persen perusahaan BUMN yang ditugaskan untuk memberi pelayanan publik. Terakhir, 8,2 persen BUMN lainnya berada dalam kategori harus divestasi atau dimitrakan.
Namun demikian, dia mengatakan data pemetaan itu belum final dan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan yang ada. Termasuk, dengan kian masifnya dampak virus corona terhadap ekonomi Indonesia.