Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menggenjot ketersediaan bahan baku obat (BBO) di dalam negeri.
Plt. Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Adi Rochmanto menyatakan akan menyelenggarakan program link and match antara peneliti dan industriawan untuk menggenjot ketersediaan BBO nasional.
Menurutnya, hal tersebut diperlukan agar industri farmasi nasional tidak ketergantungan bahan baku jika pandemik kembali menyerang.
"Kita memiliki bahan baku hayati asli Indonesia sekitar 30.000 jenis. [Namun,] yang menjadi [bahan baku] fitofarmaka 60 jenis, sedangkan baru 300 jenis yang sudah menjadi [BBo] herbal. Dalam 10 tahun ke depan, diprediksikan kita akan positif 70-80 persen [BBO yang diproduksi di dalam negeri]," katanya kepada Bisnis, Selasa (31/3/2020).
Adi menyampaikan penandatanganan nota kesepahaman antara balai penelitian Kemenperin dan industriawan seharusnya dilakukan pada akir kuartal I/2020. Namun demikian, ujarnya, penandatanganan tersebut akan diundur hingga wabah COVID-19 dapat dikendalikan.
Kemenperin juga mendorong pembangunan infrastruktur industri pengolahan BBO herbal sebagai substitusi impor BBO sintetis.
Selain itu, Adi menyatakan juga akan menggenjot pembangunan infrastruktur industri BBO dengan penyelesaian proyek mega seperti perampungan pembangunan kawasan industri Bintuni dan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Untuk saat ini, Adi menyatakan pemerintah telah mengintervensi importasi BBO dari negara pemasok BBO. Menurutnya, hal tersebut dilakukan lantaran China dan India sebagai produsen utama BBO global belum berproduksi secara optimum.
"Tidak B2B [business-to-business/antar industri] lagi. Pemerintah ikut berusaha melobi negara yang punya bahan baku [obat] untuk memberikan ke kita," ucapnya.
Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) mendata 60-62 persen BBO pabrikan farmasi nasional berasal dari China. Adapun, India memasok sekitar 20 persen, sedangkan selebihnya berasal dari berbagai negara.