Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat properti berharap stimulus yang diberikan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengantisipasi dampak dari pandemi virus corona atau Covid-19 dapat menjadi harapan baru bagi industri properti.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian dengan menerbitkan POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan bahwa stimulus OJK itu memang tidak terlalu mendorong pasar industri properti di tengah kondisi saat ini.
"Tapi relatif bisa membuat industri properti bertahan," kata Ali kepada Bisnis, Kamis (26/3/2020).
Stimulus yang berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021 itu ditujukan untuk debitur khususnya UMKM dan sektor yang paling rentan terkena dampak seperti industri pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, maupun pertanian.
Adapun, kebijakan stimulus tersebut salah satunya terdiri dari penilaian kualitas kredit atau pembiayaan maupun penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai dengan Rp10 miliar. Namun demikian, Ali memberi catatan terhadap kebijakan itu.
Baca Juga
"Stimulus itu juga harus dibuat spesifik dan mekanismenya seperti apa, karena jangan sampai ini cuma imbauan tapi tidak dilaksanakan perbankan dan non-bank," ujarnya.
Adapun, mekanisme penerapan stimulus ini diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan masing-masing bank dan disesuaikan dengan kapasitas membayar debitur. Artinya, semua wewenang kembali kepada perbankan.
Oleh karena itu, perbankan didorong untuk memiliki pedoman yang paling sedikit menjelaskan kriteria debitur yang ditetapkan terkena dampak Covid-19 serta sektor yang terdampak.
Ali menerangkan bahwa di tengah kondisi seperti saat ini seharusnya pemerintah dan perbankan dapat memberikan stimulus yang lebih tepat sasaran untuk industri properti sehingga beban pengembang dan konsumen berkurang.
Meskipun demikian, dia mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menyiapkan insentif Rp1,5 triliun melalui skema subsidi selisih bunga (SSB) sebesar Rp800 miliar dengan tenor selama 10 tahun dan Rp700 miliar untuk subsidi bantuan uang muka (SBUM).
Namun, Ali menyatakan bahwa upaya itu harus sejalan dengan upaya pemerintah untuk memberikan keringanan kepada pengembang dan konsumen di segala sektor.
Sebab, kata Ali, kondisi yang dihadapi konsumen saat ini adalah bukan untuk membeli rumah, melainkan memikirkan cicilan kredit rumah termasuk non-subsidi. Untuk itu, dia berharap agar ada keringanan cicilan kredit selama minimal enam bulan.
Sementara untuk pengembang, kata Ali, perbankan diharapkan dapat meringankan cicilan kredit kontruksi mengingat omzet penjualan properti saat ini cenderung turun. Pada saat yang bersamaan, pengembang juga harus membayar tagihan kredit ke perbankan.
Ali mengingatkan jika tidak ada jalan keluar maka tidak menutup kemungkinan akan ada pelaku usaha di sektor properti yang mengalami kolaps.