Bisnis.com, JAKARTA — Penurunan suku bunga acuan sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas moneter di tengah tren melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diyakini ekonom tak bakal berdampak banyak.
Ekonom CORE Mohammad Faisal mengatakan pelemahan rupiah yang terus berlanjut meski Bank Indonesia memutuskan menurunkan suku bunga merupakan bukti bahwa kebijakan tersebut tidak efektif untuk membendung capital outflow.
Dia memberi contoh pada langkah BI yang telah memangkas suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps) dalam setahun terakhir. Namun kredit perbankan hanya tumbuh 6 persen.
Sementara pada 2017 ketika BI memangkas suku bunga acuan sebanyak 50 bps, Faisal mengatakan kredit perbankan masih dapat tumbuh 8 persen.
"Artinya kalaupun nanti diturunkan, efektivitas akan rendah karena memang ada penurunan demand. Dampak lainnya yang perlu diantisipasi adalah stabilitas rupiah. Kalau rupiah diturunkan [nilainya], dikhawatirkan malah semakin mengakibatkan capital outflow. Alih-alih mendorong sektor riil justru semakin melemahkan," ujarnya, Kamis (19/3/2020).
Nilai rupiah tercatat terus melanjutkan tren pelemahan sejak 11 September dengan nilai tukar yang menyentuh level Rp15.913 pada akhir perdagangan Kamis (19/3/2020). Pelemahan rupiah tetap terjadi meski Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan 7 Day Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,50 persen.
Baca Juga
Faisal mengatakan kondisi ini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen yang menyelimuti perekonomian global alih-alih tingkat suku bunga. Investor disebutnya lebih mempertimbangkan keamanan suatu negara di tengah wabah virus corona atau Covid-19.
"Masalahnya ada di sentimen.Termasuk di antaranya wabah virus corona. Investor tak lagi melihat suku bunga tapi melihat tempat investasi yang lebih aman, terutama di sektor rill. Kalau tidak aman karena terpapar virus corona, maka sumber masalahnya bukan lagi tingkat suku bunga. Tapi virus corona," jelasnya.
Guna menanggulangi hal ini, dia mengatakan pemerintah perlu mengambil respons yang tepat. Penanggulangan wabah Covid-19 disebutnya harus menjadi prioritas mengingat jumlah kasus di Indonesia terus meningkat dalam tiga pekan terakhir.
"Kebijakan fiskal dan realisasi anggaran harus berfokus pada penanganan wabah Covid-19 karena kondisi ini yang berdampak pada ekonomi. Selain itu perlu ada stimulus fiskal untuk menekan dampak ekonomi karena kebijakan moneter tidak efektif lagi," ujarnya.
Stabilitas moneter sendiri disebut Faisal tetap perlu dijaga demi menjaga gairah sektor riil, terutama pada industri dalam negeri berbahan baku impor yang terimbas pelemahan rupiah.