Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Sosial mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi dampak virus corona atau Covid-19 terhadap kelompok penerima manfaat (KPM).
Dalam hal menjaga konsumsi kelompok menengah ke bawah, pencairan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahap II yang dijadwalkan cair pada April dimajukan menjadi Maret 2020.
Menteri Sosial Juliari P. Batubara menyatakan hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli KPM sebagai kelompok yang rentan di tengah ancaman perlambatan ekonomi akibat Covid-19.
“Jika gizi KPM terjaga akan mengurangi peluang mereka terserang penyakit termasuk Covid-19. Dari laporan yang saya terima banyak KPM yang telah mencairkan dana mereka di sejumlah daerah,” kata Juliari melalui keterangan resminya yang diterima Bisnis, Rabu (18/3/2020).
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Pepen Nazaruddin menyatakan bantuan yang disalurkan pemerintah per 10 Maret 2020 dari Kementerian Keuangan telah mencapai Rp7,01 triliun untuk 9,21 juta KPM PKH.
Selain percepatan pencairan bantuan sosial PKH, Kemensos pun bakal menambah besaran bantuan untuk KPM penerima Program Sembako atau yang sebelumnya dikenal bernama Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Baca Juga
Alokasi bagi KPM yang sebelumnya naik Rp40.000 dari Rp110.000 per bulan menjadi Rp150.000 per bulan kini bakal kembali memperoleh tambahan sebesar Rp50.000 untuk 6 bulan ke depan terhitung sejak Maret 2020.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Nurul Farijati mengemukakan bahwa untuk tahun ini, target penerima KPM Program Sembako bakal mencapai 15,2 juta jiwa. Jumlah ini belum berubah dari target awal yang ditetapkan.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W. Kamdani menyatakan kebutuhan penambahan bansos untuk melindungi kelompok menengah ke bawah akan tergantung pada dua hal, yakni kemampuan memperoleh pendapatan di tengah karantina dan kemampuan pemerintah dalam menjamin stabilitas pasokan kebutuhan pangan dan energi.
"Kita perlu evaluasi dahulu. Jika sektor informal masih thriving dan memberi penghasilan yang tidak bisa dihasilkan sektor formal yang mati karena karantina, bantuan sosial tidak perlu ditambah dan pemerintah bisa fokus pada jaminan pasokan pangan dan energi yang affordable," kata Shinta.
Sebaliknya, jika sektor informal ikut mengalami hibernasi sebagaimana dialami sektor formal dalam kebijakan karantina, Shinta mengemukakan bantuan sosial dan jaminan kelancaran pangan dan energi harus diimplementasikan.
"Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga daya beli dan kegiatan konsumsi masyarakat serta menciptakan bantalan yang memadai terhadap masyarakat kelas menengah bawah," tuturnya.