Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Stimulus Ekonomi: Industri Tekstil Tolak Relaksasi Impor Bahan Baku

Pemerintah memberikan stimulus nonfiskal untuk menangkal dampak virus corona dengan tujuan mempercepat lalu lintas barang dari dan ke Indonesia.
Pedagang menata kain tekstil di pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (11/2/2020)./Bisnis-Arief Hermawan
Pedagang menata kain tekstil di pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (11/2/2020)./Bisnis-Arief Hermawan

Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hulu sampai hilir sepakat menolak stimulus ekonomi untuk menangkal virus corona (covid-19), khususnya pada implementasi non-fiskal berupa kemudahan impor bahan baku.

Stimulus yang diluncurkan pemerintah pada Jumat (13/3/2020) memungkinkan adanya relaksasi penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan atau lartas untuk aktivitas impor khusus bahan baku. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kelancaran dan ketersediaan bahan baku produksi dalam negeri.

Dari industri hulu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta justru mempertanyakan tujuan stimulus kemudahan impor tersebut.

Pasalnya, jika ingin meningkatkan ekspor maka kebijakan yang saat ini sudah berlaku dinilai cukup menguntungkan bagi industri, sedangkan jika ingin menggairahkan produksi dalam negeri, maka produksi bahan baku dalam negeri juga sudah dinilai cukup memenuhi.

"Jelas kami tidak mengerti apa hubungan virus corona dengan relaksasi impor. Kenapa insentif bukan untuk industri lokal saja karena akan lebih baik, misal dengan penangguhan PPN dari hulu ke hilir yang akan menggairahkan penggunaan bahan lokal dan meningkatkan lapangan kerja, bukan malah kemudahan impor yang berakibat menurunkan pendapatan negara sendiri dan mengancam industri lokal," katanya kepada Bisnis, Jumat (13/3/2020).

Redma mengemukakan dengan kebijakan saat ini justru akan membuka peluang free rider yang kemarin sudah ditutup oleh pemerintah untuk kembali masuk. Prinsipnya, saat ini industri TPT hanya membutuhkan zat pewarna dan zat pembantu untuk diimpor karena industri yang ada di Indonesia sudah lama tiarap.

Menurut Redma, inkonsistensi kebijakan perdagangan sudah terjadi selama 10 tahun dan terus menghantui industri TPT hingga sektor ini terpuruk dengan tingkat utilisasi saat ini di bawah 50 persen.

Dia menilai keengganan para pejabat pemerintah untuk menjadikan pasar domestik menjadi jaminan pasar bagi produk dalam negeri sangat berbanding terbalik dengan kebijakan lain yang menaikan biaya produksi.

"Selama 10 tahun terakhir importasi terus dibuka bahkan difasilitasi melalui kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor hingga yang terakhir Pusat Logistik Berikat. Untuk produk dalam negeri ada tata niaga melalui lartas, tetapi kebijakan ini kan terus diamputasi dan sengaja dibuat masuk angin, pengenaan BMAD dan BMTP sulitnya minta ampun. Jadi, bahan baku impor sudah diberikan fasilitas, bahan baku lokal yang belum pernah diberikan fasilitas, ini timpang," ujar Redma.

Redma pun menuding bahwa kebijakan perdagangan yang tidak pernah mempertimbangkan integrasi hulu hilir dan cenderung berpihak pada barang impor memang sengaja dibuat kebijakannya atas upaya lobi importir pedagang.

Namun, sisi lain tarif listrik, gas, upah karyawan, biaya logistik dan pungutan lainnya terus naik ditambah berbagai pengetatan aturan lainnya menambah beban biaya industri.

"Tax holiday dan tax allowance belum bisa membantu karena tidak langsung bisa mengurangi biaya produksi plus harus ada investasi untuk dapatkan fasilitas itu, yang ada saja pada gulung tikar, kapasitas idle sampai 50 persen. Bagaimana akan menambah investasi jika kondisi seperti ini?" katanya.

Sisi lain, kondisi dan permasalahan TPT ini sudah sangat dipahami oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan. Menurut Redma asosiasi sudah dua kali melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo yang memberikan arahan jelas bahwa TPT harus diselamatkan cukup memberikan optimisme dan harapan baru.

Kebijakan safeguard yang sementara selama 200 hari dengan mulus bisa cepat diimplementasikan dan beberapa PLB ditutup, meski juga sempat kecolongan oleh revisi Permendang Nomor 77/2019 yang sangat pro impor terlanjur ditandatangani.

Menurutnya, saat ini industri juga tengah fokus pada kondisi ekonomi global salah satunya penurunan harga minyak yang membuat industri menengah menahan untuk membeli bahan baku.

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi sepakat bahwa pemerintah harus berkomitmen berpihak pada produk dalam negeri termasuk bahan baku dalam negeri.

Bahkan dia melihat kebijakan safeguard sementara dan penutupan PLB belum bisa menolong TPT karena implementasinya masih masuk angin. Transhipment dan pemalsuan COO terjadi untuk menghindari safeguards, under invoice, under volume di PLB yang masih dibuka untuk TPT masih terjadi

Ikatsi menuding bahwa Bea Cukai masih setengah hati menjalankan agenda penyelamatan industri TPT. Menurutnya, memang masih ada oknum pejabat yang terkoneksi erat dengan importir pedagang masih bercokol di beberapa kementerian.

"Kami meminta pemerintah mendisiplinkan para pejabat yang terkoneksi erat dengan para mafia impor agar agenda penyelamatan industri TPT benar-benar bisa dijalankan. Kebijakan yang dibuat oleh pejabat pro importir pasti akan selalu memberikan lubang yang bisa dimanfaatkan importir pedagang seperti revisi Permendag 64/2017 ke Permendag 77/2019. Belum lagi implementasi di lapangan yang praktik borongan masih marak, bahkan tahun lalu kami lihat drama praktik impor borongan di pelabuhan dipindahkan ke PLB," ujarnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman juga menyuarakan bahwa saat ini tengah konsen dengan kebijakan penghapusan lebih dari separuh barang yang masuk daftar larangan atau pembatasan atau lartas oleh Kementerian Perdagangan dan penyederhaanaan ketentuan impor guna mempermudah proses importasi bahan baku pada industri yang dinilai terpapar virus corona termasuk TPT di dalamnya.

"Jika pelonggaran PPh kami tentu apresiasi supaya memacu konsumsi masyarakat kembali, tetapi konsen kami lebih pada pelonggaran impor. Ini sudah kami sampaikan Kementerian Perindustrian bahwa TPT tidak membutuhkan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper