Bisnis.com, JAKARTA - Senin (2/3/2020) menjadi hari yang mencekam bagi Indonesia karena pemerintah menemukan dua kasus positif virus corona atau Covid-19.
Indonesia pun akhirnya resmi masuk ke dalam negara yang terinfeksi virus corona. Merespons penemuan ini, pemerintah segera melakukan penanganan khusus dan pemantauan terhadap dua pasien tersebut. Tindakan pelacakan potensi penyebaran, tes laboratorium hingga karantina dijalankan sesuai prosedur.
Namun, guncangan tetap terjadi di bursa saham, pasar valas hingga pasar surat utang tidak bisa dihindari. Investor melepas asetnya. Kondisi panic buying yang ditunjukkan masyarakat dengan berbondong-bondong membeli masker, vitamin, sembako juga tidak dapat dibendung saat itu.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot lebih dari 1 persen dan mengakhiri pergerakannya di level terendah dalam tiga tahun pada perdagangan hari itu.
Berdasarkan data Bloomberg, pergerakan IHSG ditutup di level 5.361,25 dengan koreksi tajam 1,68 persen atau 91,46 poin dari level penutupan perdagangan sebelumnya. Bank Indonesia (BI) mencatat total aliran dana keluar dari pasar SBN mencapai Rp80 triliun sejak virus corona hingga awal Maret.
Jelas, ini bukan hal mudah bagi Indonesia. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan fiskal senilai Rp10,3 triliun untuk menopang sektor pariwisata, perdagangan dan penerbangan.
Baca Juga
Siapa sangka paket kebijakan fiskal tersebut tidak cukup ketika Indonesia kini menyandang status sebagai negara dengan kasus virus corona.
Hari itu juga, Senin (2/3/2020), otoritas moneter Tanah Air bertindak. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang kerap dikenal sebagai monetarist handal dalam mengodok kebijakan kembali turun tangan.
Tidak tanggung-tanggug, Perry mengeluarkan lima kebijakan sekaligus untuk menangkal dampak virus corona ke ekonomi Indonesia. Pertama, BI meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan. BI siaga di pasar spot valas, pasar SBN, dan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
Kedua, BI menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valuta asing bank-bank umum konvensional yang sebelumnya 8 persen dari DPK sekarang 4 persen dari DPK. Dengan harapan, pemangkasan GWM ini dapat menambah
Ketiga, BI menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps yang ditujukan kepada perbankan yang melakukan kegiatan ekspor dan impor. Dalam pelaksanaannya, bank wajib berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga terkait.
Keempat, BI memperluas jenis dan cakupan underlying transaksi bagi investor asing di dalam melakukan lindung nilai, termasuk domestic non-delivery forward (DNDF). Kelima, BI menegaskan investor global dapat menggunakan bank kustodian, baik global maupun domestik, dalam melakukan investasi di Indonesia.
Kebijakan ini diambil setelah BI memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada pertengahan Februari 2020.
Sejalan dengan kebijakan ini, Perry meyakini adanya rebound ekonomi pada kuartal II/2020 setelah pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2020 berpotensi turun ke kisaran 4,9 persen.
Menurut ramalan BI, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 akan mulai mendekati 5 persen. Kemudian, kondisi ini semakin membaik ke kisaran 5,1 persen pada kuartal III/2020 dan sekitar 5,2 persen pada kuartal IV/2020.
Perkiraan ini sesuai dengan skenario model V-Shape yang dipakai BI dalam menganalisa pergerakan ekonomi di tengah tekanan wabah virus corona. Dari pola V-Shape ini, Perry mengungkapkan dua bulan ini - Februari dan Maret - akan menjadi titik terendah dalam krisis virus corona.
Enam bulan setelahnya akan menjadi masa recovery bagi ekonomi Indonesia. Perry menegaskan masa pemulihan ini akan dibarengi dengan kebijakan yang terkoordinasi. "Ini bukan skenario doomsday ya, tetapi yang [skenario] V-Shape ya," papar Perry, Rabu (4/3/2020).
Dia menambahkan skenario ini efektif jika dibarengi dengan kebijakan yang terkoordinasi baik dari BI, OJK dan pemerintah.
Tanda-Tanda Perbaikan
Jika skenario yang dipaparkan BI tepat, maka perbaikan ekonomi di kawasan hingga Tanah Air akan terjadi mulai April mendatang. "Perkiraan kami mulai April sudah ada kenaikan," ungkap Perry, Rabu (4/3/2020).
Pemulihan ini, menurut Perry, akan terjadi secara global. Namun, intensitasnya cenderung lebih kuat di Asia karena suhu di kawasan mulai memanas ketika memasuki musim semi.
Dengan suhu yang mulai memanas, penyebaran virus corona diperkirakan akan semakin berkurang. Namun perlu ditekankan, perhitungan ekonomi BI tidak berangkat dari sekedar ramalan cuaca. Perry mengungkapkan China, episentrum krisis penyebaran virus corona, mulai menunjukkan perbaikan karena negara ini sudah melewati titik puncak krisis penyebaran virus tersebut. Jumlah pasien virus corona yang sembuh berangsur meningkat.
Artinya, roda perekonomian Negeri Tirai Bambu tersebut mulai bergerak, setelah 'mati suri' karena wabah Covid-19 sejak awal Januari lalu. Perry beragumen pemulihan diperkuat dengan adanya beberapa indikasi.
"Kegiatan di pelabuhan itu sudah mulai meningkat, memang belum akan pulih tapi meningkat," kata Perry.Indikasi lainnya adalah peningkatan trafik lalu lintas kendaraan, penggunaan batu bara serta tingkat polusi di China mulai meningkat.
Sementara itu, Federal Reserve (Fed) tampaknya tidak memperdulikan model pemulihan ekonomi V-Shape. Dengan tegas, Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin. Sebuah kejutan sekaligus ancaman bagi pasar. Pasalnya, keputusan Fed diambil di luar jadwal pertemuan bulanan. Investor dan ekonom mengira Fed mengetahui gambaran data ekonomi secara menyeluruh di luar perhitungan mereka.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menghimbau agar negara lain untuk mengikuti langkah Federal Reserve dalam merespon ancaman ekonomi dari penyebaran virus corona.
"Kami membutuhkan respons kebijakan yang tersinkronisasi dan terkoordinasi - moneter, fiskal, perdagangan dan investasi - dari sejumlah negara besar untuk mengatasi pelemahan pertumbuhan karena pandemi virus," kata Sri Mulyani seperti dilansir Bloomberg, Rabu (4/3/2020).
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menilai bank sentral Tanah Air seharusnya tidak mengikuti langkah Fed. "Pandangan kami Bank Indonesia harus memperketat, bukan melonggarkan, selama masa risk off ini, terutama ketika volatilitas rupiah berada di posisi tertinggi dalam kurun waktu lebih dari setahun," ujar Satria.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menegaskan pihaknya tidak ada rencana untuk melakukan rapat darurat terkait dengan suku bunga.
Devisa Aman
Di tengah tekanan Covid-19 yang menekan penghasil devisa, perdagangan dan pariwisata, BI menegaskan cadangan devisa Indonesia lebih dari cukup untuk menghadapi risiko pelemahan ekonomi.
Perry mengungkapkan jumlah cadangan devisa per Februari mencapai sebanyak US$131,7 miliar. Dalam mengelola cadangan devisa, dia mengaku BI lebih efektif dan efisien dalam melakukan intervensi pasar karena telah ditopang dengan instrumen yang beragam.
"Kalau dulu hanya spot, sekarang ada DNDF dan juga pembelian SBN di pasar sekunder," ujar Perry, Rabu (4/3/2020).
Dengan instrumen Domestic Non Delivery Forward (DNDF), cadangan devisa tidak akan terkuras untuk intervensi karena yang dibayarkan hanya premi. Premi tersebut dibayarkan dengan rupiah sehingga DNDF tidak mempengaruhi cadangan devisa.
Alhasil, BI mengklaim cadangan devisa di bulan Januari dan Februari meningkat. "Itu confidence yang terus kita lakukan," ujar Perry.
Amannya cadangan devisa diikuti oleh pengakuan pengusaha Tanah Air soal pasokan bahan baku impor. Importir Indonesia mengaku stok bahan baku produksi aman untuk dua sampai tiga bulan ke depan di tengah hambatan perdagangan internasional karena wabah virus corona.
Hal ini terungkap dalam survei yang dilakukan BI terhadap sejumlah perusahaan - baik importir dan eksportir - yang berdagang dengan China. Survei dilakukan pada Februari lalu.
"Kami cek ke perusahaan-perusahaan, para importir masih punya stok dua hingga tiga bulan untuk bahan baku," ujar Perry, Rabu (4/3/2020). Kendati aman, Bos BI ini tetap berharap kebijakan untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan internasional dapat didorong.