Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menilai Rancangan Undang Undang Cipta Kerja masih belum maksimal memfasilitasi kebutuhan pengusaha di sektor logistik.
Ketua DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan pihaknya mengapresiasi keberadaan RUU Cipta Kerja yang tujuannya memudahkan investor dalam aspek perizinan usaha. Namun, dia menyayangkan ketika dari sisi logistik yang dijadikan landasan hukum malah aturan yang tidak lengkap.
Menurutnya, yang dijadikan landasan dalam penyusunan RUU Cipta Kerja adalah beleid yang berkaitan dengan aktivitas angkutan multimoda. Padahal, kebijakan yang menyangkut angkutan multimoda tersebut belum mengatur jenis usaha yang lebih holistik di bidang logistik.
"Dari sisi logistik ini mereka [pemerintah] menggunakan cantolan utamanya multimoda, sedangkan multimoda dari PP dan Perpres belum bisa memberikan secara lengkap logistik end to end, itu baru bicara dokumen dan dari sisi moda transportasinya saja," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (26/2/2020).
Sementara itu, jelasnya, kegiatan logistik end to end itu tidak hanya berkaitan dengan moda transportasinya, banyak jenis usaha logistik pula yang tidak hanya berkaitan dengan moda transportasinya.
Menurutnya, kemudahan dengan satu izin usaha dalam RUU ini masih berpeluang terjadi pihak yang berkegiatan end to end mesti menggunakan beberapa izin.
Baca Juga
Izin pun masih harus melalui beberapa Kementerian seperti Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Dia menilai salah satu cantolan aturan yang sudah mencakupi berbagai jenis usaha di sektor logistik adalah peraturan menteri perhubungan (PM) No. 49/2017 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (PPJPT).
"Aturan ini sudah lengkap mencerminkan kegiatan logistik nasional dan internasional, yang terdapat 21 jenis usaha. Malah aturan ini tidak masuk sebagai landasan," ujarnya.
Kendati demikian, Yukki mengatakan masih ada kesempatan agar jasa pengusahaan logistik dapat dimasukan secara menyeluruh dari awal hingga akhir (end to end).
Adapun saat ini ketika menggunakan landasan aturan angkutan multimoda baru mencakupi izin-izin yang terbatas. Padahal ruang lingkup logistik mestinya harus standar internasional.
"Kami sampaikan ini ke Kemenko Perekonomian dan Kemenhub, kalau cantolannya multimoda malah akan menghambat karena pada akhirnya tidak menyederhanakan izin. Padahal, ada permenhub baik darat laut udara kereta yang sudah standar tingkat internasional dari berbagai macam, misal liability insurance, standard trading sudah internasional," tegasnya.
Selain itu, Ketua Asosiasi Forwarder Asean ini pun mengaku kaget karena selain omnibus law pemerintah tengah menggodok UU tentang pos dan logistik.
Dia menyayangkan hal tersebut, UU baru malah akan membuat aturan turunan baru yang berujung pada perizinan baru. Artinya, setelah RUU Cipta Kerja akan ada perizinan-perizinan baru yang mesti disesuaikan.
Pria asal Jawa Barat ini mengungkapkan kalau pemerintah ingin investasi masuk melalui omnibus law tersebut, seharusnya tidak melihat logistik dari sisi moda transportasi saja tetapi harus menyeluruh.
Selain itu, terangnya, dalam perspektif logistik RUU tersebut belum memberikan kemudahan berusaha. Padahal, pihaknya sudah turut memberikan masukan.
"Saya berharap RUU Cipta Kerja di tingkat implementasinya tidak melempem, ini sudah baik common practice mesti nasional dan internasional, kami kaget juga usulannya kami tidak sesuai dengan hasilnya," ujarnya.