Bisnis.com, JAKARTA--Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan pemerintah untuk mencari mitra dagang selain China guna menghadapi tantangan defisit neraca perdagangan.
Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap Negeri Tirai Bambu berpotensi menurunkan kinerja ekspor impor di tengah merebaknya virus Corona (Covid-19)
"Adanya virus Corona membuat permintaan ekspor ke China jatuh. Mau tidak mau, barang hasil industri manufaktur diarahkan ke pasar domestik. Ini pelajaran agar pemerintah jangan bergantung sepenuhnya pada China," kata Faisal ketika dihubungi Bisnis, Senin (17/2/2020).
Faisal menambahkan mengalihkan komoditas ke pasar dalam negeri maupun mencari mitra dagang bukan pekerjaan yang mudah. Harga yang murah membuat pemerintah lebih memilih produk-produk China untuk mengisi kebutuhan dalam negeri.
Meski demikian, langkah untuk memperkuat pasar dalam negeri maupun diversifikasi negara tujuan ekspor dan impor harus dilakukan. Menurutnya, banyak negara-negara yang berpotensi menjadi pangsa pasar untuk menggantikan posisi China secara bertahap, misalnya India, Negara Timur Tengah, dan Australia.
Indonesia dapat mengimpor kebutuhan pangan seperti bawang putih dari India atau gandum-ganduman dari Australia. Di sisi lain, pemerintah juga harus memaksimalkan misi dagang ekspor ke negara Timur Tengah dan Afrika untuk menawarkan komoditas dalam negeri.
"Mencari pasar baru memang tidak mudah. Namun, hal itu bisa dilakukan karena hambatan nontarif di negara-negara berkembang tidak kompleks seperti di Uni Eropa. Kuncinya mau tak mau ya diversifikasi," imbuhnya.
Terkait impor, dia mengingatkan agar pemerintah memikirkan pasokan bahan konsumsi, khususnya pangan, jelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang akan dimulai pada akhir April 2020.
Persoalan pasokan jelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HKBN) sebenarnya bukan isu baru, tetapi tidak pernah selesai sampai sekarang karena tak sinkron data supply dan demand yang ada di pemerintah.
"Pemerintah harus putar otak untuk mencari bahan pangan dari negara lain. Harganya mungkin tidak semurah China, tetapi kebutuhan masyarakat mau tak mau harus dipenuhi," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2020 mengalami defisit sebesar US$870 juta. Defisit tersebut disebabkan posisi neraca ekspor sebesar US$13,41 miliar, lebih rendah dari neraca impor yang mencapai US$14,28 miliar.
BPS mencatat ekspor nonmigas per Januari 2020 mencapai US$12,61 miliar atau turun 5,33 persen dibandingkan Desember 2019. Jika mengacu pada periode yang sama tahun lalu, ekspor januari 2020 turun sebesar 0,69 persen (yoy).
Penurunan ekspor nonmigas Januari 2020 terhadap Desember 2019 terjadi pada komoditas lemak dan minyak hewani/nabati sebesat US$703,2 juta (34,08 persen). Di sisi lain, terjadi peningkatan pesat pada komoditas logam mulia dan perhiasan/permata sebesar US$219 juta (57,84 persen).
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Januari 2020 mencapai US$14,28 miliar. Realisasi tersebut turun dari US$14,51 miliar pada Desember 2019 atau 1,6 persen (mtm) dan merosot dari US$14,99 miliar pada Januari 2019 atau setara dengan 4,78 persen (yoy).
Impor nonmigas Januari 2020 mencapai US$12,29 miliar. Impor nonmigas tercatat turun 0,69 persen dibandingkan Desember 2019 (mtm) dan 7,85 persen dibandingkan Januari 2019 (yoy).
Lebih lanjut, impor migas Indonesia pada awal 2020 tercatat US$1,99 miliar atau turun 6,85 persen (mtm) dan mengalami kenaikan 19,95 persen (yoy).