Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menyatakan ketersediaan bahan baku industri kertas menipis dan diramalkan akan langka pada akhir Maret dan mencapai harga yang sangat tidak kompetitif.
Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida mengatakan scrap kertas impor menopang sekitar 50 persen dari kebutuhan bahan baku pabrikan kertas. Namun demikian, lanjutnya, asosiasi mencatat tidak ada pemesanan scrap kertas di pasar global oleh pabrikan lokal sejak awal 2020.
"Dengan tidak ada impor [skrap kertas] harga [bahan baku lokal] melonjak selangit sekarang. Kalau industri bahan baku kertas lokal sehat, utilitas akan di level 50 persen [pada akhir kuartal I/2020]," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (13/2/2020).
Seperti diketahui, pemerintah telah menginstruksikan agar impuritas scrap kertas impor berada di level 2 persen. Namun demikian, ujar Liana, minimnya aturan tertulis mengenai instruksi tersebut membuat lembaga surveyor enggan memeriksa kontainer scrap kertas impor.
Oleh karena itu, Liana berujar harus ada revisi pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 92/2019 tentang Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Menurutnya, revisi tersebut paling lambat rampung sebelum akhir bulan ini lantaran proses impor skrap kertas membutuhkan waktu sekitar 3 bulan.
Adapun, Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI) telah memilah kertas setidaknya menjadi empat jenis yakni kertas kardus bekas (OCC), majalah bekas (OMP), kertas putih bertulisan (SWL), dan kertas hasil rumah tangga (Mixed Paper). Atas kategori tersebut, Liana mengatakan masing-masing jenis kertas memiliki ketentuan kadar impuritas yang berbeda.
Baca Juga
ISRI menentukan kadar impuritas skrap kertas dihitung berdasarkan asal penggunaan skrap tersebut. Tingkat impuritas tertinggi dimiliki oleh kertas OMP (5 persen) yang dinilai kerap berasal dari lingkungan yang bersih, sedangkan impuritas terendah dimiliki kertas Mixed Paper (0,5--1 persen) karena berasal dari rumah tangga yang cenderung kotor.
"Kami sudah presentasi ke pemerintah, harus ada best practice, kami kan berdagang internasional. Paling tidak [tingkat impuritas] ikut dengan ketentuan ISRI dan jangan digeneralisasi [semua jenis kertas]," katanya.
Liana menyatakan rendahnya ketersediaan bahan baku tersebut memaksa pabrikan menurunkan volume produksi sejak kuartal III/2019. Alhasil, lanjutnya, kini mulai marak produk kertas impor yang mulai memasuki pasar lokal.
Liana mengamati bahwa produk yang dimasuki oleh produk impor adalah kemasan kertas. Adapun, asosiasi mencatat kemasan berbahan kertas berkontribusi sekitar 28% dari total kemasan yang beredar.
Kemarin, Rabu (12/2/2020), Presiden memutuskan untuk melonggarkan ketentuan impor scrap baja yang juga diatur oleh Permendag No. 92/2019. Liana menyatakan pihaknya telah mengirimkan surat ke Sekretariat Negara (Sekneg) agar mendapatkan perlakuan yang sama.
Menurutnya, Sekneg telah meminta nama-nama pihak yang akan melakukan audiensi dengan Presiden dalam waktu dekat.