Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Menulis isu ekonomi makro, manajemen dan entrepreneurship. Belakangan juga memberi perhatian pada perkembangan industri media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo, IG: arif_budisusilo

Lihat artikel saya lainnya

NGOBROL EKONOMI: Omnibus Law Cipta Kerja

Kalangan pemrotes membangun narasi bahwa Omnibus Law itu lebih "pro pengusaha, dan mengebiri hak buruh." Narasi itulah yang menonjol saat ini. Ia menjadi alat legitimasi bagi gerakan protes aktivis buruh.
Aktivitas karyawan di pabrik karoseri truk di kawasan industri Bukit Indah City, Purwakarta, Jawa Barat, belum lama ini. Selain kebutuhan lapangan kerja yang semakin besar, produktivitas industri manufaktur dinilai perlu lebih digenjot guna menghindari ancaman jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. /Bisnis-NH
Aktivitas karyawan di pabrik karoseri truk di kawasan industri Bukit Indah City, Purwakarta, Jawa Barat, belum lama ini. Selain kebutuhan lapangan kerja yang semakin besar, produktivitas industri manufaktur dinilai perlu lebih digenjot guna menghindari ancaman jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. /Bisnis-NH

DI  Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (7/2/2020) malam, mendadak Presiden Jokowi mengundang sejumlah pemimpin media.

Kebetulan, saya tengah berada di kota itu, menghadiri rangkaian acara Hari Pers Nasional di “Gerbang Ibukota Baru” tersebut.

Sambil makan ikan saluang, kami berbincang aneka persoalan terkini.

Tentu, kondisi industri media di Indonesia menjadi topik bahasan serius. Terlebih esok harinya (8/2/2020), Presiden menghadiri peringatan Hari Pers Nasional, sebelum terbang ke Australia.

Selain isu pers, kami juga membahas aneka isu lain. Mulai soal pangan, energi, riset dan pengembangan, isu BUMN hingga Omnibus Law.

Ihwal Omnibus Law, belakangan memang menjadi perbincangan hangat. Dari kalangan akademisi, pengusaha, hingga buruh.

Ada dua Omnibus Law yang disiapkan pemerintah. Pertama, Omnibus Law Perpajakan. Kedua, Omnibus Law Cipta Kerja.

Kedua RUU itu sudah masuk ke DPR. Omnibus Law Perpajakan sudah terlebih dahulu masuk. Disusul pekan ini Omnibus Law Cipta Kerja.

Presiden Jokowi sendiri optimistis, dalam waktu 100 hari, kedua RUU itu selesai dibahas dan disahkan oleh DPR.

Ada sense of urgency yang besar untuk ngebut.

bayar pajak
bayar pajak

Seorang wajib pajak menunjukkan form aktivasi EFIN agar dapat melakukan pelaporan SPT Pajak Tahunan secara online di Kantor KPP Pratama Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jum'at (22/2/2019).ANTARA FOTO/Indrianto Eko

Soal pajak, suka enggak suka, rezim perpajakan Indonesia memang kurang kompetitif. Harus dirombak total, agar aturan perpajakan menjadi enabler bagi kegiatan ekonomi.

Di luar insentif pajak bagi investasi, perekonomian Indonesia membutuhkan iklim perpajakan yang lebih kondusif.

Pajak perlu diletakkan sebagai instrumen menciptakan stimulus ekonomi, bukan sekadar penerimaan negara.

Dari sisi administrasi, penting untuk memberikan kemudahan sekaligus meningkatkan kepatuhan. Lalu diperkuat dengan reformasi tarif pajak, yang ramah dengan kegiatan ekonomi.

Ada filosofi, "dikurangi untuk bertambah." Mengejar volume ketimbang harga. Ekstensifikasi ketimbang intensifikasi.

Maka, diharapkan kegiatan ekonomi bertambah, basis pajak akan meluas, dan dengan sendirinya penerimaan pajak kian meningkat.

***

Namun, Omnibus Law Perpajakan rupanya enggak terlalu menjadi sorotan. Yang rame adalah Omnibus Law Cipta Kerja.

Menjadi rame, lantaran substansi Omnibus Law Cipta Kerja ini menyentuh isu sensitif: perburuhan.

Tak heran bila pagi-pagi sudah mengundang protes. Bahkan sebelum RUU diajukan ke Dewan. Berbeda dengan Omnibus Law Perpajakan, yang terkesan sepi-sepi saja.

Omnibus Law Cipta Kerja ini jadi heboh, sebenarnya urusannya soal narasi.

Narasi terhadap substansi dan esensi undang-undang itu. Utamanya soal-soal yang terkait dengan perburuhan.

NGOBROL EKONOMI: Omnibus Law Cipta Kerja

Pekerja farmasi beraktivitas memproduksi obat di pabrik Pfizer Indonesia, Jakarta Timur, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso

Saya jadi ingat saat pemerintah mengumumkan kebijakan relokasi subsidi BBM pada November 2014. Jauh-jauh hari memang sudah dibangun narasi, untung rugi subsidi BBM, yang ratusan triliun tiap tahun dibakar jadi asap di jalan raya.

Poinnya di sini. Penikmat subsidi tambun itu bukan orang miskin yang berhak, tetapi nyasar ke kantong orang kaya: pemilik mobil mewah, bahkan di antaranya.

Subsidi sesat yang salah sasaran itu berlangsung bertahun-tahun. Bahkan puluhan tahun. Akibatnya, pemerintah kehilangan sumberdaya keuangan yang begitu besar.

Kehilangan kesempatan membangun infrastruktur, menyubsidi kesehatan dan pendidikan warga masyarakat tidak mampu, yang memang membutuhkan.

Maka, wacana publik pun dibangun. Subsidi harus berkeadilan, dan tepat sasaran. Subsidi ratusan triliun yang salah sasaran itu perlu direlokasi ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Untuk membiayai kegiatan yang memang sungguh diperlukan. Juga untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang sudah sangat ketinggalan.

Maka narasi besarnya adalah: “Relokasi Subsidi BBM.” Konsekuensinya, subsidi BBM dihilangkan. Maka, konsekuensi logisnya, harga BBM naik.

Protes publik memang sempat muncul. Tapi tak lama. Karena memang bisa diterima logika dengan cara yang sederhana.

Belajar dari pengalaman itu, pekerjaan rumah terbesar soal Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah soal sosialisasi. Ihwal narasi.

Menarasikan esensi Omnibus Law Cipta Kerja dengan cara yang pas. Dengan bahasa awam yang gampang diterima. Terutama mempersuasikan tujuan besarnya: membuat lebih banyak masyarakat agar bisa bekerja.

Dengan bekerja, akan memiliki penghasilan. Rentetannya menjadi panjang. Penghasilan akan menopang daya beli. Daya beli yang meningkat akan menjadi mesin penggerak bagi peningkatan produksi, karena barang yang dihasilkan akan terbeli.

Dengan itu, perputaran ekonomi akan kian kencang. Ini akan menjadi efek spiral: yang seterusnya akan kian membuka dan menciptakan kesempatan kerja lebih lanjut.

Ada kepentingan besar yang hendak dicapai, untuk kebaikan masyarakat Indonesia. Bukan untuk pengusaha.

Efek spiral ke atas inilah yang belakangan terpotong. Bahkan sebaliknya, terjadi spiral ke bawah.

Penyebabnya banyak. Intinya, lantaran aneka perundangan yang tumpang tindih dan “saling menyandera,” termasuk di dalamnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, investasi baru nyaris tidak beranjak naik.

Bahkan banyak terjadi relokasi pabrik, dari seputar Jabodetabek ke provinsi lain, wa bil khusus Jawa Tengah. Terutama industri yang padat karya alias pabrik yang mempekerjakan banyak buruh. Ketika terjadi relokasi, sudah dipastikan ribuan bahkan puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan, hanya dari satu pabrik.

Masih mending kalau cuma relokasi pabrik ke provinsi lain, karena masih tersedia lapangan pekerjaan di wilayah Indonesia.

Yang menyedihkan, kalau banyak pabrik pindah ke luar negeri. Ke Bangladesh atau Vietnam. Sudah begitu, investasi baru dari luar juga makin tidak tertarik. Mereka lebih memilih Vietnam dengan banyak alasan.

pabrik vietnam
pabrik vietnam

Pekerja merakit mobil di pabrik Vinfast di Hai Phong, Vietnam, Jumat (14/6/2019)./Reuters-Kham

Kata kuncinya, Indonesia kalah bersaing. Tak ada pengusaha yang ingin membuka pabrik atau memulai bisnis, jika barang yang dihasilkan tak terjual, akibat biaya produksi yang lebih mahal.

Maka, PHK pun terjadi, dan makin banyak warga masyarakat kehilangan pekerjaan, dan tuna daya beli. Akhirnya, pabrik-pabrik pun kehilangan pasar. Inilah efek spiral ke bawah itu.

Untuk urusan itu, saya setuju dengan Bahlil Lahadalia, Kepala BKPM, yang "lincah sekali," menurut Pak Jokowi.

Bahlil terlihat sangat pragmatis dalam melihat kebutuhan pengusaha. Tiga hal saja: Kepastian, kecepatan dan efisiensi.

Soal kepastian dan efisiensi itu, salah satunya adalah aturan ketenagakerjaan yang terlalu kaku. Akibatnya, pabrik manufaktur Indonesia tidak kompetitif.

Apalagi ada sistem pengupahan yang "gebyah uyah," alias disamaratakan. Buruh yang lama dengan buruh baru, upahnya relatif tidak berbeda karena pola UMR yang pukul rata.

Ini contoh ilustratif saja. Tenaga kerja baru dengan kompetensi dan skill yang masih rendah pun harus dibayar Rp4,8 juta di wilayah Bekasi. Ini karena aturan pengupahannya diputuskan “suka-suka” oleh pemda, demi popularitas politiknya.

Bagaimana sanggup pabrik padat karya membayar upah untuk karyawan baru semahal itu? Sementara, di provinsi sebelahnya, Jawa Tengah, skala upah masih di kisaran Rp1,8 juta hingga Rp2,5 juta.

Aturan UMR itu hanya salah satunya. Banyak aturan lain yang menghantui investasi baru, terutama di industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja.

Ya bagi pengusaha simpel saja. Hengkang saja ke lokasi lain, yang biayanya jauh lebih murah. Maka Gubernur Jawa Tengan Ganjar Pranowo begitu suka. Banyak pabrik pindah ke wilayahnya.

UMR di Jateng dengan variasi yang jauh lebih murah, tentu menjadi daya tariknya. Untuk pabrik padat karya yang mempekerjakan sekaligus puluhan ribu buruh, selisih upah yang besar menjadi sweetener yang menggiurkan. Biaya produksi jauh lebih efisien.

Apalagi karakteristik buruh di Jateng relatif lebih tekun bekerja. Tidak terlalu banyak protes. Karakter khas "orang Jawa."

NGOBROL EKONOMI: Omnibus Law Cipta Kerja

Sejumlah pekerja pabrik rokok menghitung uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran saat pembagian di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (21/5/2019)./ANTARA-Yusuf Nugroho

Karakter ini ternyata juga penting. Survei teranyar dari Jetro (Japan External Trade Organization) bahkan menemukan profil tenaga kerja Indonesia yang dianggap mahal, tetapi kurang produktif.

Jetro adalah organisasi yang menghimpun urusan perdagangan internasional Jepang. Yang mengadvokasi kebutuhan para investor Jepang di berbagai negara.

Dilaporkan, sebanyak 55,8% perusahaan Jepang yang disurvei menyatakan tidak puas dengan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Apalagi bila dibandingkan dengan upah minimum yang dibayarkan.

Padahal, di negara Asia Tenggara lainnya, tingkat ketidakpuasan investor Jepang hanya di level 30,6%. Artinya, ketidakpuasan terhadap tenaga kerja Indonesia jauh lebih tinggi.

Temuan Jetro itu menyebutkan, selama 5 tahun terakhir sejak 2015, kenaikan upah sektor manufaktur di Indonesia mencapai US$98. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya US$51.

Yang menyedihkan, dalam kurun waktu tersebut, kenaikan tingkat produktivitas Indonesia hanya 74,4%. Kalah dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 80%.

Kabar buruknya lagi, peringkat produktivitas Indonesia berada di urutan tiga terbawah di antara negara-negara Asean.

***

Maka, dalam konteks itulah, Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi penting. Apalagi, salah satunya akan membenahi hambatan-hambatan di sektor ketenagakerjaan.

Namun, gara-gara itu pula, kalangan buruh, juga publik, menjadi heboh.

Kalangan pemrotes membangun narasi bahwa Omnibus Law itu lebih "pro pengusaha, dan mengebiri hak buruh."

Narasi itulah yang menonjol saat ini. Ia menjadi alat legitimasi bagi gerakan protes aktivis buruh.

demo buruh
demo buruh

Ilstrasi demo buruh pada Hari Buruh atau May Day yang jatuh pada Rabu (1/5/2019) di depan gedung Kementerian Pariwisata. JIBI/Bisnis/Yanita Patriella

Maka, tak ada pilihan. Diperlukan sosialisasi dengan narasi yang lebih menggugah. Mendudukkan tujuan besar yang hendak dicapai. Dengan bahasa yang mudah diterima.

Saya kira, Omnibus Law Cipta Kerja ini akan menjadi monumen baru, membuka kesempatan kerja yang lebih luas. Banyak aspek yang hendak disederhanakan dan disinkronisasi, di berbagai sektor.

Kuncinya adalah memudahkan investasi baru. Bukan cuma dari luar, tetapi juga bagi investor atau pengusaha dari dalam negeri.

Harap dicatat pula, dengan investasi barulah, kesempatan kerja akan tercipta. Pada gilirannya, akan menghasilkan efek berganda bagi ekonomi, yang memberi manfaat luas bagi semua.

Sebaliknya, kesempatan itu akan hilang percuma, manakala para investor takut membuka usaha baru, lantaran banyak dibebani aneka urusan, yang memukul daya saing produk mereka.

Maka, tak berlebihan kalau sesungguhnya, Omnibus Law ini perlu dilihat sebaliknya. Lebih “Pro lapangan kerja.” Tentu, “Dengan cara memberikan berbagai kemudahan bisnis bagi pengusaha.”

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper