Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengaku menyiapkan tiga jurus untuk mengurai permasalahan tata niaga baja nasional.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan dia kebijakan itu diperlukan untuk mengendalikan impor baja dan mendorong agar pangsa baja domestik dapat menyentuh level 70%. Selain perbaikan tata niaga baja juga dibutuhkan untuk mengurangi beban industri tersebut terhadap neraca perdagangan nasional.
Adapun menurut data Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) pabrikan baja nasional sejatinya telah mampu memenuhi 70% permintaan baja lokal.
Namun demikian, sampai saat ini pabrikan nasional hanya bisa mengisi 40% dari pangsa pasar domestik lantaran ada infiltrasi impor baja sebesar 30% ke pasar domestik. Dengan kata lain, 60% pasar baja nasional dinikmati oleh produk impor
"Kami tentu akan melakukan pengaturan terhadap impor baja yang intinya menahan [baja impor] agar mendorong pasokan dalam negeri tetap pada porsi yang maksimal. Jadi, utilitasnya harus maksimal," ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Kementerian Perindustrian, Rabu (12/2/2020).
Adapun strategi pertama yang akan dilakukan kementeriannya adalah, menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) dan safeguard. Adapun, produk yang akan dimasukkan dalam perlindungan tersebut adalah baja profil H dan I, wire rod, tin plate, hot rolled plate (HRP), dan hot rolled coil (HRC).
Baca Juga
Kedua, menerbitkan standar nasional Indonesia (SNI) wajib produk baja. IISIA sebelumnya menyatakan harus ada SNI wajib baja yang sistematis. Dengan demikian, baja impor yang selama ini tidak sesuai dengan SNI akan ditekan.
Ketiga, penyesuaian tata niaga impor baja. Agus menyatakan pihaknya akan merampungkan Sistem Informasi Baja Nasional (Sibanas) yang tergabung dalam sistem informasi industri nasional (SIINAS). Menurutnya, hal tersebut akan membuat kebutuhan dan permintaan baja lebih transparan dan mencegah adanya importasi berlebih.
Agus berharap pelaksanaan tiga hal tersebut dapat membuat volume infiltrasi impor berkurang. Adapun, Agus juga akan meningkatkan daya saing industri nasional pada saat yang bersamaan.
Menurutnya, infiltrasi impor tersebut terjadi setidaknya karena daya saing pabrikan baja lokal yang rendah. Oleh karena itu, lanjutnya, Kemenperin akan berusaha membantu menurunkan biaya produksi pabrik baja dan meningkatkan investasi permesinan industri baja.
"Teknologinya [mayoritas pabrik baja] sudah obselete. Ini bukan isu, ini masalah. Harus ada jalan keluar," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum IISIA Silmy Karim mengatakan fokus pabrikan baja nasional yang terbaik saat ini adalah pendalaman pasar domestik. Pasalnya, lanjutnya, utilisasi rata-rata pabrikan baja saat ini berada di bawah level 50%.
"Keluhan anggota juga cukup tinggi karena derasnya impor, terutama pada 2018--2019," ujarnya, Selasa (28/1/2020).
Silmy menyarankan kepada pemerintah bahwa kondisi yang paling ideal adalah penerapan bea masuk anti subsidi dan anti dumping. Selain itu, ujarnya, asosiasi juga menyarankan adanya harga minimum impor.
Menurutnya, hal itu dapat mencegah adanya penyelewengan pos tarif (post circumvention) yang selama ini dilakukan pada impor alloy steel. Seperti diketahui, oknum importir menyatakan bahwa barang yang dikirimkan sebagai carbon steel saat mengirimkan alloy steel untuk mendapatkan tidak dikenakan karbon.
"Alloy steel itu tidak ada yang harganya di bawah US$800/ton. Ini [oknum] mengimpor dengan [harga] US$300--US$400/ton. Itu ada pengalihan HS Code," katanya.
Ketiga, Silmy juga menyarankan agar pelabuhan tujuan impor dikurangi menjadi dua pelabuhan. Silmy menilai hal tersebut akan mempermudah pengawasan importasi baja di pelabuhan.
Keempat, harus ada standar nasional Indonesia (SNI) Wajib yang harus dipatuhi pabrikan secara sistematis. Silmy berujar hal tersebut akan mencegah adanya pabrikan nakal yang mencoba mengurangi biaya produksi dengan menggunakan bahan baku baja yang tidak berkualitas.
"Harga boleh murah, tapi kalau kualitasnya rendah banyak yang kasihan," ujarnya.