Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) mengapresiasi langkah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk memperluas sektor penerima manfaat Peraturan Presiden (Perpres) No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Regulasi itu menetapkan harga gas pada sejumlah sektor industri pada level US$6 per million british thermal unit (MMBtu). Salah satu subsektor manufaktur yang mendapatkan harga gas khusus itu adalah sarung tangan karet.
Ketua APBI Azis Pane mengatakan langkah tersebut penting untuk mendorong hilirisasi di sektor olahan karet. Selain itu, lanjutnya, kontribusi sarung tangan karet dalam portofolio ekspor artikel karet sangat mini.
"[Masuknya artikel karet dalam Perpres No. 40/2016] langkah yang strategis guna meningkatkan penghidupan petani karet. Kalau ini dimuat, petani karet tidak akan lagi tebang pohonnya," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (5/2/2020).
Azis menambahkan bertambahnya pemain karet di Asia Tenggara menjadi ancaman bagi industri karet nasional. Apalagi, lokasi geografis Indonesia yang berada cukup jauh dari negara tujuan ekspor membuat daya pelaku industri karet dan ban lokal kurang kompetitif.
Lokasi strategis, jelasnya, dimiliki oleh produsen ban dari negara kompetitor seperti Vietnam sebab berada dalam satu daratan dengan China.
Baca Juga
"Karet itu ekspornya US$5,6 miliar, tapi angka itu akan berkurang terus karena Laos dan Vietnam sudah mengekspor karet juga. Posisi kita jauh di selatan, [akhirnya] sahabat-sahabat di benua Asia ambil yang paling dekat, pakai transportasi darat. Kita kan pakai [transportasi] laut," katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, langkah hilirisasi menjadi langkah yang sangat baik. Menurut dia, tarif gas berkontribusi 5 - 6 persen dari total biaya produksi rata-rata olahan karet.
Kendati begitu, dia meyakini tarif gas yang lebih murah akan menjaga daya saing produk olahan karet nasional.
"Tapi, [penurunan tarif gas] sangat signifikan. Meningkatkan daya saing pasti," ujarnya.