Bisnis.com, JAKARTA — Daya dorong kebijakan makro, baik dari sisi fiskal maupun moneter, dinilai sudah habis, sehingga diperlukan reformasi struktural dari pemerintah dalam menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global saat ini.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pidatonya di Mandiri Investment Forum 2020, Rabu (5/2/2020).
"Kita sadar bahwa kita tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan fiskal dan moneter, perlu ada reformasi struktural. Langkah sulit ini perlu diambil untuk tumbuh lebih tinggi lagi," ujarnya.
Sri Mulyani menerangkan secara global, kebijakan moneter dari banyak negara sudah tidak efektif untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi dari perlambatan. Terbukti, pertumbuhan ekonomi global pada 2019 tercatat sebagai pertumbuhan yang terendah dalam 10 tahun terakhir terhitung sejak krisis global terakhir.
Di satu sisi, Indonesia memang masih mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen dan bahkan mampu menekan inflasi di bawah 3 persen. Namun, untuk tumbuh lebih jauh lagi diperlukan langkah struktural, tidak hanya sekadar menjaga momentum.
"Indonesia tidak hanya perlu menjaga momentum, tapi bagaimana kita meningkatkan kualitas pertumbuhan yang diimbangi dengan penurunan pengangguran, ketimpangan, dan kemiskinan," terangnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia masih didominasi komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 56,62 persen; komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 32,33 persen; komponen ekspor barang dan jasa 18,41 persen; komponen konsumsi pemerintah 8,75 persen; komponen perubahan inventori besar 1,43 persen; komponen Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) 1,3 persen.
Adapun komponen impor barang dan jasa sebagai faktor pengurang PDB memiliki kontribusi sebesar 18,9 persen.
Baca Juga