Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian akan memacu produktivitas manufaktur dalam trennya yang membaik hingga periode 2019 lalu.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan ke depan pemerintah masih akan semakin serius memacu produktivitas industri manufaktur dalam negeri agar mampu memenuhi permintaan domestik hingga mengisi pasar ekspor.
Oleh karena itu, implementasi kebijakan strategis perlu segera diakselerasi, di antaranya adalah yang terkait dengan ketersediaan bahan baku dan pasokan energi.
Menurut Agus, terjaganya kebutuhan bahan baku dan energi bagi sektor industri, tentu membawa dampak positif bagi keberlangsungan produksi mereka. Apalagi, bisa didukung dengan harga yang kompetitif, seperti gas industri.
"Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar, sehingga bisa memberikan peluang bagi pengembangan bisnis sektor industri manufaktur. Terlebih lagi ditopang dengan kebijakan P3DN atau Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri," katanya melalui siaran pers, Selasa (4/2/2020).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan produksi industri manufaktur skala besar dan sedang (IBS) pada 2019 naik 4,01 persen dibandingkan 2018.
Pertumbuhan tersebut, terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, sebesar 19,58 persen.
Kontribusi terbesar terhadap total produksi IBS selama 2019, disumbangkan oleh industri makanan, yang mencapai 23,57 persen. Kemudian, diikuti share kelompok industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, yang berada di angka 10,54 persen.
Selanjutnya, pertumbuhan produksi industri manufaktur skala besar dan sedang pada kuartal IV/2019, juga naik mencapai 3,62 persen yoy. Kenaikan tersebut, terutama didukung oleh meningkatnya produksi industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional, sebesar 18,58 persen.
Sementara itu, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil (IMK) pada 2019 kenaikannya menyentuh angka 5,80 persen yoy . Kenaikan terbesar di sektor IMK terjadi pada industri komputer, barang elektronika dan optik, yakni 22,03 persen.
Berikutnya, industri percetakan dan reproduksi media rekaman yang naik 18,76 persen, serta industri minuman yang naik hingga 8,57 persen.
Dari sisi kontribusi, sektor yang menyumbang nilai tertinggi terhadap total produksi IMK, adalah industri makanan sebesar 20,44 persen. Selanjutnya, disusul oleh kelompok industri barang galian bukan logam dengan kontribusi sebesar 10,57 persen.
Lebih lanjut, upaya untuk memperluas pasar ekspor sektor industri, pemerintah terus mempercepat penyelesaian perjanjian kerja sama yang komprehensif dengan sejumlah negara potensial. Pemerintah juga mendorong agar bisa menembus ke pasar-pasar nontradisional seperti ke Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika.
Agus menambahkan, langkah lainnya yang perlu dipacu guna mendongkrak kapasitas dan daya saing industri, antara lain melalui peningkatan investasi, penguatan struktur manufaktur dari hulu sampai hilir, pemanfaatan teknologi terkini, mengintegrasikan rantai pasok, dan kelancaran arus logistik.
“Selain itu, pemerintah telah siap memfasilitasi pemberian insentif fiskal dan nonfiskal,” tuturnya.
Agus optimistis, industri manufaktur di Indonesia bakal terus menunjukkan kinerja yang positif, seiring tekad pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif dan penerapan program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0.
Kinerja positif misalnya, tercermin pada peningkatan produktivitas industri manufaktur baik skala besar dan sedang maupun yang mikro dan kecil sepanjang 2019.