Bisnis.com, JAKARTA - Biaya produksi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mencontohkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Terapung Cirata berkapasitas 145 MW memiliki biaya pokok produksi (BPP) sebesar US$5,8 sen per kWh. Padahal sebelumnya, BPP PLTS berkisar US$10 sen per kWh hingga US$11 sen per kWh.
Adapun pembangkit yang memiliki nilai investasi total US$129 juta tersebut merupakan kerja sama antara PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), anak usaha PLN, dan Masdar, perusahaan asal Uni Emirat Arab (UEA).
Setidaknya, PLN menarget pada 2020 akhir atau 2021 awal PLTS Terapung Cirata unit I berkapasitas 50 MW akan dapat beroperasi komersial (commercial operation date/COD). Sementara itu, pembangkit tersebut akan beroperasi penuh dengan kapasitas total 145 MW pada 2022.
Harga beli listrik PLN ke pembangkit yang sebesar US$5,8 per kWh ditetapkan untuk produksi selama 25 tahun.
Menurutnya, BPP PLTS tersebut mengalahkan biaya produksi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Muara Karang, PLTGU Muara Tawar, dan PLTGU Priok.
"Dulu ada dikotomi EBT mahal, fosil murah. Manusia inovasi terus, kita tidak menyerah. day by day kita akan mengurangi biaya EBT," katanya, Kamis (23/1).
Dia mencontohkan China saat ini mulai masif melakukan pengembangan pembangkit EBT. Sebelumnya, pada 2009, pembangkit fosil mendominasi pembangkit listrik di China karena menghasilkan listrik yang murah sehingga mampu menggerakkan perekonomian.
Dalam perkembangannya, China kemudian mengembangkan pembangkit angin dan matahari. Bahkan, teknologi pembangkit EBT China saat ini telah mendominasi pasar dunia.