Bisnis.com, GRESIK - PT Pertamina (Persero) mengeluhkan tingginya beban pajak atas penyerapan hasil produksi minyak mentah (crude oil) jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sehingga menyebabkan harganya lebih tinggi dibandingkan dengan impor.
Curahan hati Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengenai beban pajak ini disampaikan di sela-sela Kick Off Program Percepatan Kilang Pertamina di fasilitas produksi PT Barata Indonesia (Persero), Senin (20/1/2020).
Nicke mengatakan di tengah upaya menekan defisit neraca perdagangan dengan menyerap crude oil jatah KKKS, harga minyak yang diproduksi lebih mahal dibandingkan dengan impor.
"Setelah kita bongkar, ternyata banyak regulasi seperti perpajakan. Memang bebannya lebih tinggi," katanya.
Sepanjang tahun lalu, Pertamina mencatatkan penyerapan minyak mentah dalam negeri dari bagian pemerintah, anak usaha Pertamina, dan KKKS mencapai lebih dari 90% dari total produksi minyak mentah di Indonesia. Adapun bagian minyak mentah yang diserap mencapai 147 juta barel (unaudited) dari 43 KKKS.
Realisasi tersebut melonjak lebih dari 1.000% dari total serapan dari KKKS 2018 sebanyak 10,1 juta barel. Dengan adanya peningkatan penyerapan minyak mentah dalam negeri yang dapat diolah di kilang Pertamina, maka akan berkontribusi terhadap turunnya volume impor minyak mentah.
Pertamina juga mencatatkan pembelian minyak mentah dari luar negeri sekitar 212.000 barel per hari atau sekitar 23% dari total kebutuhan (intake) kilang pada 2019. Jumlah ini berhasil mengalami penurunan signifikan lebih dari 30% dibandingkan dengan 2018.
Nicke menambahkan pihaknya tetap mendukung kebijakan penyerapan crude bagian KKKS untuk menekan defisit neraca perdagangan. "Saya yakin permasalahan [regulasi perpajakan] ini juga terjadi di sektor manufaktur," katanya.