Bisnis.com, JAKARTA - PT PLN (Persero) mengaku siap mengikuti aturan baru dari pemerintah mengenai harga beli listrik pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT) meskipun mengalami kenaikan dari yang ditetapkan sebelumnya.
Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengakui tidak semua pembangkit EBT memiliki harga beli yang sama. PLN menilai memang perlu ada fleksibilitas pada harga beli listrik dari pembangkit EBT.
Adapun harga beli listrik pembangkit EBT perlu menyesuaikan dengan keekonomian proyek. Misalnya, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas kecil, yakni 20 MW, dapat dijual dengan harga yang lebih mahal sekitar US$11 sen per kWh.
Sementara itu, PLTP dengan kapasitas lebih besar, yakni 250 MW, dapat memiliki harga beli listrik lebih murah sekitar US$7 sen hingga US$9 sen per kWh.
"Bangun wind [PLTB] harus angin besar supaya capacity factor cukup tinggi sehingga biaya rendah. Kalau angin tidak kencang, investasi sama tetapi produksi rendah, biaya akan lebih mahal. Kami memang melihat perlu ada fleksibilitas ini," katanya, Jumat (17/1/2020).
Darmawan yakin inovasi teknologi EBT yang terus berproses akan mampu menurunkan investasi. Hal ini akan berdampak pada penurunan biaya modal sehingga pembelian harga listrik EBT dapat semakin murah.
Selama ini, harga beli listrik EBT disesuaikan dengan 85% biaya pokok produksi (BPP) lokal. Misalnya, BPP pembangkitan di Jawa adalah sebesar US$6,9 sen per kWh, maka harga jualnya hanya sekitar US$5 sen per kWh.
Saat ini, pengoperasian pembangkit EBT lebih didorong di daerah terpencil atau berada di luar Jawa. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan pengoperasian pembangkit EBT juga dilakukan di Jawa untuk mencapai target bauran energi.