Bisnis.com, JAKARTA – Dampak ketidakpastian politik di Hong Kong terhadap ekonomi dan kepercayaan investor diperkirakan tak hanya akan membebani ekonomi tetapi juga geliat saham yang tercatat di kota ini.
Sepanjang tahun berjalan hingga Rabu (11/12/2019), indeks Hang Seng Hong Kong naik hanya sekitar 3 persen. Sementara itu, indeks saham perusahaan-perusahaan terbesar yang terdaftar di bursa Shanghai dan Shenzhen meningkat lebih dari 29 persen.
Perbedaan selisih kenaikan tersebut adalah yang terlebar sejak 2014. Fakta ini menggarisbawahi beban yang dialami Hong Kong sejak aksi protes anti-pemerintah mendera kota ini lebih dari enam bulan lalu.
Selain itu, investor memburu saham pasar domestik China (A shares) karena mereka mendapatkan lebih banyak bobot dalam beberapa indeks MSCI utama.
“Sangat mungkin kinerja pasar A shares akan mengalahkan saham di Hong Kong tahun depan,” ungkap Hong Hao, kepala riset di Bocom International, seperti dilansir melalui South China Morning Post.
“Pasar [Hong Kong] kurang memiliki katalis, sesuatu yang melebihi ekspektasi pasar, untuk membalikkan tren penurunannya,” tambah Hong.
Aksi protes di pusat keuangan Asia tersebut telah membuat investor berada di ujung tanduk sejak Juni, memukul sekaligus melumpuhkan industri-industri lokal mulai dari pariwisata hingga ritel.
Setelah melalui awal yang cerah sekitar kuartal I/2019, dengan mencetak level tertingginya tahun ini di 30.157,49 pada 9 April 2019, pergerakan pasar saham Hong Kong perlahan merosot dan telah diperdagangkan dalam kisaran sempit.
Sejak aksi protes berskala besar-besaran dimulai pada 9 Juni 2019 hingga perdagangan Rabu (11/12/2019), indeks Hang Seng terpantau membukukan penurunan 3,38 persen, berdasarkan data Bloomberg.
Dibandingkan dengan penurunan sebesar 17,04 persen pada periode yang sama tahun 2018, penurunan Hang Seng sepanjang 2019 memang jauh lebih kecil.
Beberapa sentimen positif seperti listing Alibaba dan kemenangan kubu pro-demokrasi dalam pemilu lokal mampu mengikis sebagian koreksinya.
Meski demikian, tak lantas saham-saham dan perekonomian di wilayah ini telah aman dari tekanan aksi protes yang masih terus mencengkeram.
Berangkat dari penolakan atas rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi ke China daratan, aksi protes warga Hong Kong telah meluas untuk menuntut demokrasi lebih besar di wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah China ini.
Kronologi RUU Ekstradisi dan Aksi Protes di Hong Kong | |
---|---|
Tanggal | Peristiwa |
Februari 2019 | Biro Keamanan Hong Kong mengusulkan amandemen undang-undang ekstradisi yang akan memungkinkan ekstradisi ke sejumlah negara, termasuk China daratan. |
31 Maret | Ribuan warga turun ke jalan untuk memprotes RUU ekstradisi |
28 April | Puluhan ribu warga berunjuk rasa di Dewan Legislatif Hong Kong menuntut dibatalkannya RUU tersebut. |
21 Mei | Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan pemerintahannya bertekad meloloskan RUU ekstradisi. |
30 Mei | Konsesi untuk permasalahan ini diajukan tetapi dinilai tidak cukup oleh para pengkritik. |
9 Juni | Lebih dari 1 juta warga membanjiri jalan-jalan perkotaan. |
12 Juni | Aksi protes meningkat dengan polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata. Lebih dari 70 demonstran terluka. |
15 Juni | Lam memutuskan menunda proses RUU ekstradisi. |
16 Juni | Sekitar 2 juta warga berunjuk rasa menuntut RUU tersebut ditarik sepenuhnya. |
21 Juli | Sekelompok pria dengan kaus putih menyerbu sebuah kereta di stasiun Yuen Long. |
13-14 Agustus | Ribuan pengunjuk rasa menduduki Bandara Internasional Hong Kong, disertai bentrok dengan polisi yang mengakibatkan lumpuhnyaaktivitas penerbangan. |
4 September | Lam akhirnya mengumumkan ditariknya RUU ekstradisi, meskipun langkah ini dipandang terlambat dilakukan. |
1 Oktober | Kota Hong Kong diguncang oleh kerusuhan terbesar sejak aksi protes dimulai ketika Partai Komunis China merayakan hari jadi Republik Rakyat China ke-70. Polisi menembak bahu seorang demonstran berusia 18 tahun. |
3 Oktober | Jurnalis Indonesia Veby Mega Indah dilaporkan mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya setelah terkena tembakan peluru karet dari polisi Hong Kong ketika tengah meliput aksi demonstrasi di Wan Chai, Hong Kong, pada 29 September. |
4 Oktober | Lam menyerukan larangan penggunan masker sehingga memicu protes kekerasan. Seorang petugas polisi menembak paha remaja lelaki berusia 14 tahun. |
16 Oktober | Aktivis hak asasi terkemuka Jimmy Sham dipukuli oleh empat pria yang bersenjatakan palu dan pisau. |
23 Oktober | RUU ekstradisi dicabut secara resmi. |
2 November | Para pengunjuk rasa merusak kantor berita resmi China Xinhua. |
3 November | Seorang pria dengan pisau menggigit telinga seorang politisi dan menyerang beberapa orang setelah aksi protes di sebuah pusat perbelanjaan berubah menjadi bentrok dengan polisi. |
4 November | Mahasiswa bernama Chow Tsz-lok, 22, jatuh dari lantai tiga sebuah gedung di tengah tindak pembubaran massa oleh polisi. |
6 November | Seorang pria bersenjatakan pisau menyerang anggota parlemen pro-Beijing Junius Ho. |
8 November | Chow dinyatakan meninggal dunia akibat luka yang dideritanya. Kematiannya semakin menyulut kemarahan publik. |
11 November | Polisi menembakkan peluru tajam ke arah pengunjuk rasa di sisi timur pulau Hong Kong, satu orang terluka. |
20 November | Seorang mantan pegawai konsulat Inggris di Hong Kong, yang ditahan di China daratan pada Agustus, mengungkapkan telah disiksa oleh polisi rahasia China dan dituduh menyulut bara kerusuhan. |
24 November | Partai pro-demokrasi meraih kemenangan besar dalam pemilu distrik. |
8 Desember | Aksi protes memuncak. Ratusan ribu demonstran membanjiri jalan-jalan utama di pusat kota meneriakkan tuntutan dan bersumpah terus memperjuangkan demokrasi hingga tahun depan. |
10 Desember | Polisi Hong Kong jinakkan dua bom rakitan di gedung sekolah. Jurnalis asal Indonesia Veby Mega menuntut aparat Hong Kong bertanggung jawab atas insiden matanya yang tertembak hingga mengalami kebutaan. |
Beban Bertambah
Aksi protes berkepanjangan itu menambah beban pada perekonomian Hong Kong yang telah terdampak perang dagang tak berkesudahan antara Amerika Serikat dan China.
Menurut para analis, ketimpangan kinerja saham di Hong Kong dan China kemungkinan akan berlanjut pada 2020, bahkan ketika saham Hong Kong diperdagangkan dengan valuasi rendah dan pertumbuhan ekonomi China diperkirakan melambat.
“Ekonomi Hong Kong menghadapi tantangan serius dari kejatuhan yang berkepanjangan akibat aksi protes dan kepercayaan di kalangan investor telah terpukul,” lanjut Hong.
Pada saat yang sama, pasar saham di Shanghai dan Shenzhen membuka dan menarik aliran masuk dana portofolio yang besar karena MSCI menyertakannya ke dalam indeks global yang dilacak oleh para pengelola dana.
Meski demikian, Patrick Brenner, kepala investasi multi-aset Asia di Schroders, melihat peluang dalam saham-saham perusahaan China daratan yang terdaftar di bursa saham Hong Kong (H shares).
“Valuasi dalam jangka pendek untuk A shares tidak terlihat menarik, setelah kinerja yang kuat tahun ini. Kami melihat lebih banyak potensi taktis untuk H shares ketimbang A shares,” papar Brenner.
“Karena H shares biasanya lebih sensitif terhadap sentimen internasional, setiap progres dalam pembicaraan perdagangan akan membawa minat investor yang lebih tinggi dan dukungan untuk H shares,” tambahnya.
Sementara itu, aksi protes masih terus berlanjut hingga detik ini setelah memuncak pada Minggu (8/12/2019). Saat itu, ratusan ribu demonstran membanjiri jalan-jalan utama di pusat kota dan meneriakkan tuntutan-tuntutan mereka.
Mereka bersumpah untuk terus memperjuangkan demokrasi di wilayah itu hingga tahun 2020, ketika Hong Kong dijadwalkan mengadakan pemilihan umum untuk Dewan Legislatif.
“Demonstrasi pada Minggu menunjukkan bahwa pemerintah akan 'bermimpi' jika mereka percaya protes ini akan mereda pada awal tahun depan, terutama dengan liburan Natal dan Tahun Baru China yang akan datang,” ujar Alvin Yeung, seorang anggota parlemen yang pro-demokrasi.
“Warga masih sangat ingin berjuang untuk apa yang telah mereka perjuangkan,"tambahnya.
Carrie Lam, pemimpin Hong Kong yang didukung oleh Presiden China Xi Jinping, telah menolak untuk menyerah pada lima tuntutan para demonstran, termasuk penyelidikan independen terhadap tindak kekerasan polisi dan kebebasan untuk memilih pemimpin kota ini.
“Jika Carrie Lam atau rezim Beijing terus mengabaikan protes itu, warga Hong Kong akan terus melawan pemerintah baik dengan cara damai maupun tidak begitu damai,” tutur Fernando Cheung, seorang anggota parlemen yang pro-demokrasi.
Masuk Resesi
Helen Qiao, kepala ekonom Greater China di Bank of America Merrill Lynch, memperkirakan kerusuhan politik di Hong Kong akan mereda 2020. Namun ia memperingatkan kerugiannya masih akan berdampak pada perekonomian kota itu.
Data pemerintah mengkonfirmasikan pada Jumat (15/11/2019) bahwa Hong Kong telah tenggelam ke dalam resesi, untuk pertama kalinya dalam satu dekade pada kuartal III/2019, akibat terbebani eskalasi aksi protes anti-pemerintah dan sengketa perdagangan Amerika Serikat-China.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 pun direvisi turun karena kerusuhan politik yang berkepanjangan. Produk domestik bruto (PDB) secara keseluruhan untuk tahun ini diperkirakan akan terkontraksi 1,3 persen dari tahun sebelumnya, kontraksi pertama dalam satu dekade.
“Meski kami memperkirakan adanya stabilisasi atas situasi saat ini dan akhir dari sebagian besar jenis kegiatan yang mengganggu bisnis, kami pikir konsekuensinya mungkin akan bertahan untuk setidaknya dua hingga tiga kuartal berikutnya,” jelas Qiao.
Ia memperkirakan tingkat pengangguran akan meningkat secara umum karena pertumbuhan keseluruhan terus melemah, terutama menjelang akhir tahun.
Di sisi lain, aksi protes yang masih berkepanjangan dan kondisi ekonomi yang terbenam dalam resesi memantik harapan langkah-langkah stimulus baru oleh pemerintah guna menghidupkan kembali pertumbuhan pusat keuangan Asia ini.
“Mengakhiri kekerasan dan memulihkan ketenangan adalah penting bagi pemulihan ekonomi. Pemerintah akan terus memantau situasi dengan seksama dan mengajukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung perusahaan dan perlindungan,” tutur pemerintah Hong Kong, dilansir dari Reuters.
Menurut proyeksi yang dihimpun oleh Bloomberg, PDB Hong Kong diprediksi akan berkontraksi 4,4 persen year-on-year pada kuartal I/2020 dan sebesar 3,2 persen pada kuartal II/2020.
Tommy Wu, ekonom senior di Oxford Economics, memprediksi kontraksi PDB untuk 2019 akan mencapai 1,5 persen dan lanjut berkontraksi hingga tahun depan.
"Mengingat betapa buruknya sentimen, kami tidak mengharapkan stimulus akan memberikan dampak yang berarti sampai kerusuhan politik berhenti. Tapi ada kemungkinan terdapat lebih banyak stimulus di masa depan," ujar Wu, seperti dikutip dari Bloomberg.