Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investor Pantau Progres Negosiasi Tarif Trump, Bursa Asia Dibuka Menguat

Pasar saham Asia dibuka menguat pada perdagangan, Senin (30/6/2025) didorong oleh reli indeks saham AS ke rekor tertinggi serta negosiasi dagang tarif Trump.
Papan saham elektronik menampilkan Nikkei 225 Stock Average di salah satu perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, Senin, 5 Agustus 2024./Bloomberg-Noriko Hayashi
Papan saham elektronik menampilkan Nikkei 225 Stock Average di salah satu perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, Senin, 5 Agustus 2024./Bloomberg-Noriko Hayashi

Bisnis.com, JAKARTA — Pasar saham Asia dibuka menguat pada perdagangan awal pekan, Senin (30/6/2025) didorong oleh reli indeks saham AS ke rekor tertinggi serta kemajuan dalam pembicaraan dagang yang memicu minat investor terhadap aset berisiko.

Melansir Bloomberg, Indeks MSCI Asia-Pacific naik 0,3% saat pembukaan perdagangan Senin (30/6/2025). Indeks Topix Jepang naik 0,75% ke level 2.861,96 setelah perunding utama dari Tokyo memperpanjang kunjungannya di AS untuk melanjutkan negosiasi dagang menjelang tenggat 9 Juli.

Selanjutnya, indeks Kospi Korea Selatan terpantau menguat 0,89% pada level 3.083,10. Adapun, indeks S&P/ASX 200 Australia dibuka naik 0,21% pada level 8.531,70.

Adapun, kontrak berjangka indeks S&P 500 dan Nasdaq 100 masing-masing menguat 0,3%. Sementara itu, indeks dolar AS melemah 0,1% di tengah kelanjutan pembahasan RUU pemangkasan pajak senilai US$4,5 triliun dari Presiden Donald Trump di Senat.

Pada Jumat (27/6/2025) pekan lalu, bursa saham AS mencetak rekor tertinggi baru untuk pertama kalinya sejak Februari, menandakan kepercayaan pasar terhadap daya tahan ekonomi di tengah ketidakpastian kebijakan. Langkah Trump yang menunda tarif atas puluhan mitra dagang sejak April turut menjadi katalis penguatan saham.

Di Asia, indeks regional berpeluang mencatatkan kenaikan lebih dari 4% untuk bulan kedua berturut-turut, seiring pelaku pasar mulai mengabaikan kekhawatiran tarif dan tensi geopolitik di Timur Tengah.

Chris Weston, Kepala Riset di Pepperstone Group, dalam catatannya mengatakan, momentum dan tren di pasar aset berisiko saat ini mencerminkan lingkungan yang nyaris ideal. Dia menambahkan, meredanya risiko geopolitik dan ekspektasi kesepakatan dagang turut memberikan dorongan bagi pasar.

Tim dagang India juga memperpanjang masa tinggal di Washington untuk menuntaskan perbedaan menjelang tenggat 9 Juli. Presiden Trump sebelumnya menyatakan bahwa dirinya tidak melihat perlunya memperpanjang batas waktu tersebut.

Namun, beberapa analis memperingatkan bahwa ketahanan pasar saat ini bisa jadi menandakan sikap pasar yang terlalu optimistis terhadap retorika pemerintahan Trump. 

“Jika tarif secara agregat diturunkan setelah tenggat, pasar bisa lanjut menguat. Tapi jika kesepakatan gagal tercapai, bisa muncul pembalikan arah,” ujar Kyle Rodda, Analis Pasar Senior di Capital.com, Melbourne.

Meredanya inflasi AS dan membaiknya prospek dagang telah memperbaiki sentimen pasar bulan ini. Indeks S&P 500 tercatat naik 10% sepanjang kuartal ini, menjadi kenaikan kuartalan keenam dari tujuh kuartal terakhir. Sementara itu, indeks dolar AS merosot 6,3%, menuju penurunan kuartalan terbesar sejak Desember 2022.

Strategi investasi Goldman Sachs yang dipimpin oleh Kamakshya Trivedi mencatat bahwa konflik terbaru di Timur Tengah menjadi pengingat bahwa kejutan kebijakan baru bisa muncul sewaktu-waktu. Namun, selama skenario terburuk tak terjadi, pasar akan terus bergerak naik melewati tembok kekhawatiran tersebut.

Di sisi lain, pembahasan RUU pemotongan pajak Trump masih berlanjut di Kongres, dengan Partai Republik terus berupaya meyakinkan para penentang untuk mendukung pengesahan akhir.

Pemungutan suara diperkirakan berlangsung hingga Senin waktu setempat. Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan RUU tersebut akan menambah defisit anggaran AS hampir US$3,3 triliun dalam satu dekade.

Selanjutnya, perhatian pelaku pasar akan tertuju pada data PMI manufaktur dan nonmanufaktur China yang dirilis Senin ini, untuk menilai dampak perang dagang terhadap perekonomian negara tersebut.

“Pelaku pasar akan mencermati apakah pesanan ekspor baru dalam PMI manufaktur China mengalami pemulihan lebih lanjut setelah AS dan China menyepakati gencatan dagang pertengahan Mei lalu,” tulis tim riset Commonwealth Bank of Australia, termasuk Kristina Clifton, dalam laporannya kepada klien.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper