Bisnis.com, JAKARTA - Bayang-bayang perlambatan dan pemburukan ekonomi global diperkirakan makin mempengaruhi perekonomian Indonesia pada tahun depan.
Wakil Ketua Umum Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Raden Pardede memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan mencapai 5% secara tahunan.
Proyeksi itu lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi pemerintah di Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2020 di mana pertumbuhan ekonomi diproyeksikan berada pada rentang 5,2%-5,5%.
“Kalau kita lihat, lesunya ekonomi global ini sudah sangat menulari kita. Terlihat dari permintaan dalam negeri yang terus melemah yang tampak dari turunnya penjualan ritel, mobil dan properti. Kondisi ini jika berlanjut, tentu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kita tahun depan,” katanya ketika dihubungi oleh Bisnis.com, Selasa (10/12/2019).
Dia mengatakan indikator melambatnya perekonomian global pada tahun depan tampak dari merosotnya laju impor, terutama impor bahan baku/penolong dan barang modal sepanjang tahun ini.
Dia menyebutkan, ketika impor bahan baku/penolong dan barang modal mengalami penurunan mengindikasikan adanya pelambatan laju investasi di Indonesia.
“Berdasarkan penelitian kami, penurunan impor dan konsumsi, akan menjadi indikasi awal bagi pelemahan laju investasi tahu depan. Sebab, pengusaha tentu tidak mau berekspansi ketika tingkat utilitas pabriknya masih belum maksimal,” ujarnya.
Dia pun pesimistis laju ekspor nonmigas pada tahun depan akan menembus dua digit. Terlebih, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas sepanjang Januari--Oktober tahun ini mencatatkan -5,82% secara tahunan menjadi US$128,76 miliar.
Menurutnya, laju ekspor tahun depan akan membaik lantaran meningkatnya harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) akibat penerapan mandatori B30 di Indonesia. Namun demikian, efek dari naiknya harga komoditas tersebut cenderung terbatas, lantaran secara volume, ekspor CPO berpeluang mengalami penurunan dari tahun ini.
“Belum lagi dari harga batu bara yang sulit di tebak. Apakah akan pulih kembali atau tidak. Sebab, saat ini tren di dunia adalah penggunaan bahan bakar bersih, sehingga batu bara rawan ditinggalkan,” katanya.
Untuk itu, menurutnya, para pengusaha mengharapkan agar perang dagang antara Amerika Serikat dan China segera mererda. Hal itu dibutuhkan agar kondisi perdagangan dan ekonomi global dapat kembali pulih.
Di sisi lain, dia juga meminta pemerintah terus menambah insentif fiskal dan moneter yang tepat sasaran bagi pelaku usaha. Langkah tersebut dibutuhkan agar minat berinvestasi dan produksi pelaku usaha terus terjaga.
“Selanjutnya adalah pemerintah perlu menumbuhkan optimisme berbisnis di Indonesia. Salah satu hal yang paling mungkin dilakukan adalah segera mengimplementasikan omnibus law. Sebab omnibus law akan membuat pengusaha lebih percaya diri untuk berekspansi meskipun kondisi ekonomi global masih belum mendukung sepenuhnya,” katanya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto meyakini laju pertumbuhan ekonomi tahun depan akan sesuai dengan target yang dicanangkan pemerintah melalui RKP 2020. Hal itu salah satunya didukung oleh kebijakan ekspor dan impor yang akan dilakukan pemerintah.
“Kami sedang mengupayakan agar impor migas bisa terus ditekan, sembari mengerek ekspor nonmigas. Selain mengupayakan peningkatan ekspor produk tradisional, kami juga berusaha mendorong ekspor produk nontradisional, terutama buatan UMKM,” ujarnya.
Kendati demikian dia mengaku belum dapat menyebutkan berapa target ekspor nonmigas pada tahun depan. Dia mengaku sedang melakukan perhitungan di internal Kementerian Perdagangan.
Namun demikian, jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pertumbuhan ekspor selama lima tahun ke depan dipatok pada level 6,88%--12,23%.