Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Industri Peleburan Kuningan (Gipelki) mengusulkan agar pemerintah mengubah aturan pembatasan ekspor skrap kuningan menjadi pelarangan.
Asosiasi menilai perubahan kebijakan tersebut akan meningkatkan kepastian berusaha di dalam negeri dan meningkatkan kapasitas terpasang setidaknya 30% tahun depan.
Ketua Umum Gipelki Eric Wijaya mengatakan eksportir masih dapat mengekspor skrap kuningan dengan adanya rekomendasi ekspor dari Kementerian Perindustrian. Menurutnya, pelarangan ekspor kini dibutuhkan untuk memaksimalkan utilitas pabrikan peleburan kuningan nasional.
“Masih belum firm [kepastian berusaha industri peleburan kuningan di dalam negeri],” ujarnya kepada Bisnis, Senin (9/12/2019).
Eric mengatakan selain pelarangan, pemerintah juga bisa menerapkan bea keluar seperti yang dilakukan negeri jiran. Menurutnya, China dan Vietnam menerapkan bea keluar skrap kuningan masing-masing sebesar 30% dan 17%. “Indonesia kan 0%.”
Oleh karena itu, Eric mengusulkan agar pemerintah menerapkan bea keluar di rentang 20%—30% pada tahun depan. Eric berpendapat penerapan bea keluar tersebut dapat menarik minat pabrikan peleburan kuningan China untuk melakukan relokasi ke dalam negeri.
Pada tahun depan akan masuk dua investasi asing ke industri peleburan kuningan dengan penambahan kapasitas terpasang sekitar 20.000 ton — 30.000 ton per tahun. Secara total, investasi pada tahun depan akan menambah kapasitas terpasang industri peleburan kuningan menjadi sekitar 110.000 ton atau bertambah 50.000 ton.
Eric mengatakan untuk memenuhi ketersediaan bahan baku bagi industri baru, pengenaan bea keluar tersebut harus dibarengi dengan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 84/2019 tentang impor limbah. Pasalnya, ketersediaan bahan baku di dalam negeri hanya cukup untuk kebutuhan pabrikan lokal.
Menurutnya, implementasi pelarangan atau penerapan bea keluar skrap kuningan dan revisi Permendag No. 84.2019 penting dilakukan pada tahun depan. Pasalnya, hampir seluruh pabrikan peleburan kuningan dari China dengan kapasitas produksi 2 juta ton tengah mempertimbangkan relokasi lantaran perang dagang.
“Sekitar 2 juta ton dari China ini mau lari. Pilihannya mau masuk ke Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Namun, masih banyak yang ingin masuk ke Indonesia,” katanya.