Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2020 merupakan momentum awal bagi Indonesia untuk memulai tahapan pembangunan dalam mewujudkan visi jangka panjang.
Hal ini diungkapkan oleh Komisaris Utama Bisnis Indonesia Hariyadi Sukamdani saat membuka acara BNI - Bisnis Indonesia Business Challenges 2020 di Jakarta, Senin (9/12/2019).
Menurut Hariyadi, tahun 2020 dinilai tidak biasa karena menjadi kali pertama tahun pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Hariyadi yang juga merupakan Ketua Umum Apindo tersebut mengatakan, perekonomian Indonesia yang selama 2019 stabil pada kisaran 5% masih mengandalkan konsumsi domestik sebagai penopang utama, selain kontribusi dari belanja pemerintah, ekspor dan investasi. Menurutnya, ekonomi yang ditopang oleh konsumsi sebenarnya cukup baik.
"Sejumlah negara, terutama yang mayoritas penduduknya menua, justru mendambakan perekonomian yang bisa ditopang dari konsumsi," katanya.
Akan tetapi, mengingat potensi besar yang masih dapat digali, perekonomian Indonesia memerlukan dorongan dari investasi dan kinerja ekspor yang optimal selain dari sisi konsumsi. Dukungan dari dua sektor tersebut dinilai akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin berkualitas karena telah memiliki ‘modal dasar’ berupa bonus demografi.
Ia melanjutkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 dapat dikatakan baik di tengah tekanan global yang tak kunjung mereda. Prospek ekonomi ini turut ditopang oleh arah penurunan suku bunga yang diharapkan dapat membantu pertumbuhan.
Sejauh ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan pelonggaran moneter yang bertujuan memberikan ruang bagi perbankan untuk bisa menyalurkan kredit lebih besar. Selain itu, tingkat inflasi juga masih akan terjaga pada angka 3% +/- 1% selama 2020.
Peran BI diharapkan saling menopang langkah pemerintah untuk mendorong pertumbuhan melalui bauran kebijakan efektif yang terdiri dari suku bunga, nilai tukar, manajemen aliran modal asing, dan kebijakan makroprudensial.
Kendati demikian, ia menilai masih ada risiko global yang tetap perlu dicermati. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang telah berdampak negatif bagi perekonomian global, turut mempengaruhi keyakinan dunia usaha Indonesia.
"Risiko ini patut terus dipantau agar tensi perdagangan tidak justru berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi," lanjutnya.
Sentimen negatif global yang belum berakhir menegaskan pentingnya sikap optimistis sekaligus terus menjalankan agenda reformasi di berbagai sektor, termasuk sektor keuangan serta perusahaan penunjang lainnya. Langkah ini diperlukan agar dapat memitigasi risiko dan tantangan ke depan.
Ia mencontohkan kebijakan penyaluran permintaan kredit pada sektor perbankan. Menurutnya, diperlukan kebijakan yang lebih selektif dengan mempertimbangkan prospek bisnis yang semakin ketat.
Lebih lanjut, Hariyadi mengatakan, di tengah ketidakpastian global, masih banyak peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, para pelaku bisnis perlu memilki kejelian melihat prospek yang baik.
"Dalam menghadapi situasi ekonomi domestik dan global sekarang ini, kuncinya tetap ada pada prioritas prinsip kehati-hatian dalam mengelola risiko bisnis. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sikap wait and see berlebihan dalam merespons prospek perekonomian Indonesia," pungkas Hariyadi.