Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Aluminium Extrusi Serta Aluminium Plate, Sheet & Foil (APRALEX Sh & F) menyatakan pembatasan impor skrap aluminium akan mematikan industri hilir aluminium. Pasalnya, skrap aluminium yang tersedia di dalam negeri hanya 2% dari total kebutuhan.
Skrap aluminium (secondary) dibutuhkan untuk menyesuaikan kekuatan aluminium sesuai tujuan penggunaannya. Adapun, skrap aluminium paling banyak digunakan paling banyak untuk komponen konstruksi dan komponen otomotif.
“Kemarin rapat dengan Kementerian Perindustrian. [Masalah ini] masih terus dibicarakan antar departemen, masih dalam proses. Yang jelas, Indonesia tidak cukup [ketersediaan] skrap aluminium,” ujar Ketua Umum APRALEX Sh & F Abubakar Subiantoro kepada Bisnis, Rabu (4/12/2019).
Abubakar mengatakan total kebutuhan aluminium baik dalam jenis primary maupun secondary mencapai 1 juta ton per tahun. Dengan kata lain, kebutuhan bahan baku industri 4 kali lipat kapasitas produksi PT Indonesia Asahan Aluminium.
Menurutnya, jika kapasitas produksi Inalum mencapai 1,2 juta—1,5 juta, beleid tersebut tidak akan menjadi masalah bagi industri aluminium. Namun menurutnya, saat ini pabrikan masih bergantung pada impor.
Abubakar mengatakan rendahnya volume skrap di dalam negeri disebabkan oleh masa pakai aluminium yang cukup lama. Selain itu, lanjutnya, industri aluminium baru ada sekitar 1980 di dalam negeri, sedangkan masa pakai komponen aluminium mencapai 100 tahun.
Abubakar menilai pembatasan impor skrap aluminium akan berdampak pada produksi komponen otomotif. Abubakar mencatat PT Molten Aluminium Producer Indonesia yang memproduksi komponen otomotif untuk PT Astra Honda Motor membutuhkan skrap aluminium sekitar 5.000 ton — 6.000 ton per bulan.
Adapun, pembatasan impor skrap aluminium tersebut dapat terjadi jika Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 84/2019 diberlakukan. Beleid tersebut mengatur bahwa skrap yang dapat diimpor adalah skrap yang homogen dan memiliki impuritas sebesar 0%.