Bisnis.com, JAKARTA - Revisi Undang-Undang (RUU) sebagai perubahan atas UU No.2/2004 tentang Penyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial diputuskan masuk dalam pembahasan program legislasi nasional (prolegnas) 2020—2024.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Johnny Darmawan menuturkan UU No.2/2004 sudah tidak relevan dengan perkembangan hubungan industrial saat ini. Akibatnya, akan ada banyak pasal-pasal dalam UU tersebut yang harus direvisi.
Dalam hal ini, dia mengatakan, pasal-pasal yang akan direvisi nantinya akan dilebur dalam omnibus law atau UU Cipta Lapangan Kerja.
“Sekarang baru mau dibahas. Setahu aku banyak hal yang akan dibahas tapi masuk di omnibus law,” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (4/12/2019).
Kendati demikian, Johnny mengatakan pihak pengusaha masih menyiapkan sejumlah daftar usulan dalam revisi beleid tersebut.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan mengatakan beberapa poin yang harus dibenahi dalam revisi UU nomor 2/2004 berkaitan dengan upaya hukum kasasi.
Menurutnya, upaya hukum kasasi seharusnya ditiadakan agar penyelesaian masalah hubungan industrial cepat selesai.
“Yang harus dibenahi, antara lain, upaya hukum kasasi sebaiknya ditiadakan saja. Jadi, di PHI itu final. Supaya lebih cepat penyelesaiannya. Selain itu, ada alternatif penyelesaian diluar pengadilan. Artinya, bisa memilih ke PHI atau ke mediasi,” kata Hadi.
Mengacu dalam UU 2/2004 upaya hukum kasasi harus dilakukan oleh hakim kasasi. Dalam pasal 113 disebutkan, ‘Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.’
Sementara itu, sekjen OPSI Timboel Siregar mengatakan, poin utama yang harus dilakukan dalam revisi UU nomor 2/2004 adalah penguatan bipartit dan mediasi. Timboel mengatakan, selama ini proses bipartit dan mediasi tidak berkualitas dan memakan waktu yang cukup lama.
“Jadi persoalan revisi ini harus memperkuat proses mediasi dan bipartit, juga demikian dengan PHI supaya prosesnya gak lama, yang sekarang kan 50 hari. Jadi harus ada hukum acara tersendiri. Bipartit juga harus diperkuat dengan mendatangkan pihak luar yang bersifat independen untuk memberi masukan ketika ada sengketa antara pekerja dan pengusaha,” kata Timboel.
Kemudian, untuk mediasi, pihak mediator harus berkualitas. Dalam hal ini, mediator harus memiliki acuan yang jelas untuk meyakinkan kedua belah pihak sehingga kasus-kasus yang ditangani cepat selesai.
“Saya yakin selama ini kan kasusnnya berulang-ulang, efisiensi, PHK 158, kasus PHK 161 itu kan sudah banyak kasus di pengadilan Mahkamah Agung. Jadi meyakinkan kedua pihak kan gak harus mengacu pada UU 13/2009 tentang ketenagakerjaan saja. Dia harus menunjukkan risiko-risiko pada kedua belah pihak, sehingga semua bisa selesai di mediator.”
Sebab itu, dia mengatakan agar revisi UU nomor 2/2004 diharapkan memiliki langkah preventif/ pencegahan perselisihan.