Bisnis.com, JAKARTA -- Penerapan electronic road pricing atau jalan berbayar menuju Jakarta semakin dekat.
Dengan penerapan electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar di jalan menuju DKI Jakarta, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengharapkan terjadi pengurangan volume kendaraan hingga 40 persen.
Kepala BPTJ, Bambang Prihartono serius ingin mulai menerapkan ERP di 3 ruas jalan menuju DKI Jakarta pada 2020 mendatang. Ketiga ruas tersebut yakni, Jalan Kalimalang, Jalan Daan Mogot, dan Margonda.
Latar belakang dilaksanakannya ERP ini, terangnya, merupakan bagian dari rangkaian rencana induk transportasi Jabodetabek (RITJ) yang harus selesai pada 2029 mendatang.
"Karena hasil studi kami, dalam masterplan, daerah perbatasan [DKI Jakarta] sudah satu semua, sudah mendekati 1 semua V/C ratio dan masih banyak ruas-ruas yang lain," terangnya kepada Bisnis, Jumat.
V/C ratio adalah rasio antara volume kendaraan dengan kapasitas jalan, semakin tinggi V/C ratio artinya jalan sudah tidak mampu menampung volume kendaraan. Idealnya, V/C ratio berada di level 0,7.
Dia menegaskan, BPTJ akan membagi penerapan ERP ini dalam tiga tahapan, yang melibatkan tiga tingkatan ruas jalan.
Di sisi lain, dia mengaku pemerintah belum bisa menerapkan ERP sepenuhnya karena ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh.
Langkah tersebut yakni penyiapan regulasi yang memungkinkan BPTJ melakukan pungutan, penyiapan prasarana, membentuk badan layanan umum (BLU) untuk mengurus dana dari ERP, penyiapan angkutan umum, serta koordinasi dengan berbagai pihak.
Saat ini terangnya, BPTJ tengah fokus menyiapkan regulasi agar ERP dapat dilaksanakan, yakni regulasi terkait pungutan di jalan nasional. Pungutan tersebut nantinya akan masuk ke Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sebagaimana PNBP lainnya, setelah regulasi terbentuk BPTJ harus segera membentuk BLU, suatu unit kerja yang bertugas mengelola dana PNBP yang terkumpul.
Menurutnya, pendapatan dari penerapan ERP akan digunakan untuk pengembangan angkutan massal, sehingga transportasi yang terbentuk menjadi berkeadilan. Masyarakat yang menyebabkan kemacetan diharuskan membayar untuk diberikan kepada masyarakat yang menggunakan angkutan umum.
Insentif untuk angkutan massal tersebut akan dibagi untuk kebutuhan angkutan massal yang dikelola pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan persentase ditentukan kemudian.
"Regulasinya kalau tidak revisi peraturan pemerintah (PP) dengan memasukan pasal pungutan di jalan nasional, kami tengah mengkaji untuk turut memasukannya dalam revisi UU No.22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang tengah disiapkan DPR masuk Prolegnas," paparnya.
Terkait fasilitas, pihaknya akan melakukan survei terlebih dahulu ke tempat-tempat yang akan dipasangi ERP dan mulai melakukan pengadaan tambahan fasilitas.
"Kami belajar nanti dari DKI, kenapa DKI dalam tanda kutip relatif lambat [lelang pengadaan], ada masalah apa, kita jangan mengulangi lagi," tuturnya.
Adapun untuk angkutan umum terangnya, BPTJ sudah menganggarkan pada 2020 dana Rp8 miliar untuk subsidi angkutan umum guna mendukung kebijakan ERP.
Dia berharap dengan diberlakukan ERP, pengguna kendaraan pribadi akan memilih angkutan umum sehingga akan terjadi lonjakan penumpang dan modal share angkutan umum dapat meningkat dari yang hanya 8 persen pada 2018.
ERP juga menjadi pendukung berbagai proyek infrastruktur angkutan massal yang tengah diselesaikan oleh pemerintah, sehingga demand atau permintaan angkutan umum dapat meningkat.
Terakhir, terangnya, BPTJ fokus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terutama pemerintah daerah, Ditjen Bina Marga, serta Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
Terkait koordinasi dengan BPJT, pihaknya menginginkan agar tarif progresif yang diberlakukan di jalan nasional menggunakan ERP turut dilakukan pula oleh jalan tol, sehingga pengguna jalan nasional tidak berpindah ke jalan tol untuk menghindari ERP.
Sementara itu, angkutan barang, terangnya tidak akan dikecualikan dari penerapan ERP. Dia menilai bahwa angkutan barang merupakan salah satu penyebab kemacetan, sehingga tidak boleh diberikan pengecualian.
Di sisi lain, pelaksanaan ERP secara teknis terangnya akan seperti tilang elektronik, para pengguna jalan akan direkam oleh CCTV yang ada di jalan dan pada akhir bulan akan dikirimkan tagihan ke alamat sesuai STNK masing-masing.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mendukung langkah BPTJ dan pemerintah daerah menerapkan ERP di jalan-jalan protokol. Menurutnya, konsep ERP lebih berkeadilan daripada aturan TNKB ganjil-genap.
Dia menegaskan kondisi saat ini dengan diterapkannya ganjil-genap sebagai disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi malah membuat kendaraan pribadi semakin banyak.
"Orang bukan memilih untuk menggunakan kendaraannya sesuai tanggalnya, ganjil atau genap, sekarang orang malah menambah kepemilikan kendaraannya supaya dapat menggunakan mobil di kedua tanggal tersebut," jelasnya kepada Bisnis.
Di sisi lain, penerapan aturan ganjil-genap pun berujung pada beralihnya pengguna kendaraan roda empat menjadi pengguna kendaraan roda dua atau sepeda motor.
Adapun Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan tantangan ke depan berkaitan ERP adalah bagaimana dapat benar-benar terimplementasi.
"[Di DKI Jakarta] ini sudah terlalu lama dilelang-lelang tidak jelas. Mudah-mudahan tahun depan terwujud karena lebih efisien, lebih efektif, kita tidak perlu memelototi pelat nomor lagi, itu hillang saja," tuturnya.
Dia menegaskan ERP lebih berkeadilan, kalau masyarakat sanggup bayar, silakan bayar, kalau tidak sanggup jangan menggunakan kendaraan pribadi.